TENTANG MASALAH KEPENDUDUKAN

Written by oman on Senin, 29 Desember 2008 at 09.35

Selama ini, masalah kependudukan boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat. Baik itu dari para politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak berkeberatan lagi dengan program untuk mengon¬trol kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya. Dianggap sebagai hal yang tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenar¬nya masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting. Tidak kalah pentingnya dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali kita perdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi. Dan sebenarnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum dan norma agama. Jadi, memang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sebenarnya, masalah kependudukan ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang program KB. Kalau pun sudah ada yang menyetujui¬nya, umumnya mereka masih enggan melaksanakannya. Pada zaman Orde Lama, dari pihak pemerintah pun tidak ada kesadaran akan masalah ini. Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan seandainya pada saat itu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya tidak perlu penduduk Indonesia meledak seperti sekarang ini.
Hingga saat ini memang masih banyak orang yang menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh Malthus sudah tidak berlaku lagi karena adanya berbagai macam kemajuan pada bidang pertanian yang bisa melipatgandakan jumlah makanan. Tetapi, mereka nam¬paknya melupakan bahwa kemajuan teknologi bukanlah hanya pada bidang pertanian, tetapi juga pada bidang kesehatan dan kedokteran. Jadi, tingkat kematian menurun dengan cukup drastis sedangkan tingkat kelahiran tetap bertambah menurut primitif rate. Maka semakin sesaklah bumi kita ini dan semakin sulitlah memenuhi kebutuhan pangan karena tingkat pertumbuhan penduduk dunia yang sekitar 1,2 persen per tahun sedangkan lahan pertanian hanya bertambah 0.8 persen saja. Jumlah lahan ini pun semakin hari semakin berkurang saja karena semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan. Apalagi, kita memang tak akan pernah bisa menciptakan teknologi yang bisa meningkatkan luas tanah di planet bumi. Jadi, hanya bila suatu saat kita memang telah bisa mendirikan koloni di planet Mars atau galaksi yang lain dan bisa pergi ke sana dengan ongkos setara naik kereta Purbaya barangkali kita tak perlu susah payah mengatasi masalah kependudukan ini.
Jadi, prediksi Malthus, atau lengkapnya Thomas Robert Malthus (1766-1834), dalam hal ini memang bisa dikatakan cukup tepat dan tetap berlaku hingga saat ini. Dan teori Malthus tentang kependudukan yang ditulis dalam esainya yang berjudul Essay on the Principle of Population ini juga sebenarnya yang turut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk meyakinkan Darwin tentang terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi mahluk hidup. Malthus menyata¬kan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9, 16, ... dst.) sedangkan jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret aritmetika (1, 2, 3, 4, ... dst.). Hal ini tentu pada akhirnya akan menim¬bulkan persaingan mati-matian antar Homo sapiens untuk memperebutkan sumber makanan karena berlebihnya jumlah penduduk. Memang pada saat ini tidak perlu sampai ada pertempuran antar negara untuk memperebutkan sumber makanan seperti yang terjadi pada suku-suku primitif, tetapi persaingan antar individu untuk mempere¬butkan sumber makanan (atau dalam hal ini cara untuk mencari makan alias pekerjaan) dalam skala yang sangat... sangat besar ternyata juga tak kalah buruk akibatnya karena tempat yang tersedia makin hari makin terbatas jumlahnya. Dalam masyarakat industri setiap orang memang tak lagi mencari makan secara langsung dengan cara pergi ke sawah. Akibatnya, mereka yang tidak mendapatkan tempat yang layak terpaksa mencari yang kurang layak, yang tidak mendapatkan yang kurang layak terpaksa mencari yang tidak layak. Dan dari hari ke hari mereka ini semakin besar saja jumlahnya. Ini tentu pada akhirnya menimbulkan berbagai macam masalah sosial yang susah dibenahi.
Pada zaman Orde Baru, masalah kependudukan ini memang sudah mulai dibenahi. Keluarga Berencana dianjurkan di mana-mana dan di banyak tempat mendapat sukses. Tetapi, karena masih sangat kurangnya kesadaran dari masyarakat dan kurang intensifnya usaha dari pemerintah, maka di banyak tempat pula usaha ini mengalami kegagalan. Jumlah penduduk masih terus bertambah dengan sangat pesatnya. Bila pada awal Orde Baru masih berjumlah sekitar 100 juta jiwa, maka pada akhir Orde Baru sudah berjumlah lebih dari 200 juta. Berlipat dua kali hanya dalam waktu 30 tahun saja! Suatu kecepatan pertumbuhan yang sulit dicari bandingannya sepanjang sejarah umat manusia. Apakah kita ini sebenarnya ber-evolusi dari kelinci?
Hal ini tentu pada akhirnya mengakibatkan tekanan-tekanan yang luar biasa kepada lingkungan hidup yang merupakan sumber dari kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di planet bumi ini. Dan patut pula diperhatikan bahwa dalam 30 tahun terakhir ini, jumlah produk pertanian telah meningkat hingga dua kali lipat, tetapi di banyak negara jumlah tersebut tetap tidak mencukupi.
Oleh karena itu, pada masa sekarang dan juga masa mendatang masalah kependudukan ini haruslah benar-benar bisa mendapat perhatian. Ini adalah masalah yang benar-benar sangat serius. Dan pada saat ini rasanya program KB ini sudah saatnya tidak lagi hanya sekedar dianjurkan, tetapi diwajibkan! Seperti di Cina misalnya, terlebih lagi di pulau-pulau yang sudah sangat padat penduduknya seperti Jawa, Madura dan Bali. Tetapi, tentu saja caranya harus lebih baik dengan yang ada di Cina, yaitu dengan cara terlebih dahulu memberikan pengertian-pengertian tentang pentingnya masalah ini. Bila pun tidak satu anak, bisa tetap dua saja, yang penting harus diwajibkan.
Untuk mengatasi masalah ini memang tidak cukup hanya dari pihak pemerintah saja yang mengurusinya. Semua pihak yang menyadari pentingnya masalah ini haruslah turut serta membantu membenahi masalah ini, baik itu dari generasi tua yang sudah terlanjur tidak melaksanakannya. Mereka harus¬lah turut serta berperanan dalam masalah ini, paling tidak dengan cara menyadarkan generasi muda, anak-anak mereka akan pentingnya masalah ini. Dan tulisan ini memang teru¬tama ditujukan kepada generasi muda sebab rasanya kita memang lebih baik menyadarkan yang belum terlanjur sebab kalau yang sudah terlanjur tidak bisa diapa-apakan lagi. Apalagi, hingga saat ini pada kalangan muda pun nampaknya kesadaran akan masalah kependudukan ini memang masih sangat rendah juga. Tak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Kita seringkali menemui seorang muda yang bila ditanya ingin punya anak berapa kelak, maka biasanya ia akan menjawab, "Terserahlah berapa Tuhan mau memberi, diberi berapa saja tidak apa-apa sebab itu adalah amanah." Bila memang demikian, kalau misalkan si perempuan menikah pada umur duapuluh tahun dan punya anak setiap satu atau dua tahun, maka Tuhan akan memberi dan "mengamanahkan" kepadanya minimal sepuluh orang anak. Maka, akan semakin sesak dan kusutlah bumi milik Tuhan ini. Dan itu nampaknya memang sudah menjadi “amanah” dari bumi kita ini.
Islam dan Masalah Kependudukan
Pada masa ini, memang masih ada di antara umat Islam yang menentang program kontrol kelahiran ini, baik itu dari kalangan tradisional maupun dari kalangan modern sekali pun. Atau kalau pun sudah ada yang setuju, maka mereka masih enggan melaksanakannya. Oleh karena itu, mudah-mudahan penjelasan ini nanti akan bisa membuat mereka yang masih belum setuju ini akan segera menyadari betapa pentingnya masalah kependudukan ini dan segera membenahi kembali pemahaman mereka.
Di dalam menentang program kependudukan ini, yang seringkali dijadikan landasan antara lain adalah adanya hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad di akhirat kelak akan berbangga-bangga dengan para nabi yang lainnya tentang banyaknya jumlah umat mereka. Sebenarnya, tujuan dari hadits ini adalah dimaksudkan supaya umat Islam bisa menjadi kuat. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan dari hadits tersebut. Apalagi pada masa awal kelahirannya, umat Islam masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk menyebarkan agamanya. Dan ini tentunya membutuhkan tenaga yang banyak juga. Tetapi, pada masa sekarang, di mana agama Islam sudah tersebar cukup luas, maka jumlah yang terlalu banyak malah bisa berbalik membuat lemah umat Islam sendiri. Jumlah yang terlalu banyak berarti semakin sulitnya orang mencari makan, semakin banyak orang miskin, anak putus sekolah dan pengangguran. Dan itu berarti kelemahan.
Bila pun masih ada yang berpendapat bahwa jumlah yang banyak pada saat ini bisa menjadi kekuatan, maka kita bisa mengingat bagaimana pada masa sebelum kemerdekaan, jumlah bangsa Indonesia yang 60 juta ini takluk kepada negeri liliput Belanda. Dan itu tidak perlu semua orang Belanda menyerbu ke sini. Jumlah orang Belanda di Indonesia saat itu hanya sekitar 50 ribu orang saja, itu pun sudah terma¬suk kaum indonya. Ini berarti 1:1.200. Jadi, orang-orang Belanda itu, karena keunggulan kualitasnya, mereka malah bisa menjadi lebih hebat dari Prabu Arjuna Sastrabahu yang sedang bertriwikrama. Atau kalau contoh yang lebih up to date lagi, kita bisa pula melihat bagaimana etnis Cina yang jumlahnya hanya beberapa gelintir saja bisa menguasai perekonomian Indonesia karena teknik berda¬gang mereka yang lebih maju.
Lalu, bila kita kembali kepada hadits di atas, apakah Nabi Muhammad akan bangga dengan umatnya yang berjumlah 60 juta itu? Jawabannya pasti adalah tidak. Nabi Muhammad pastilah tidak akan bangga dengan jumlah umatnya yang banyak tetapi tidak berkualitas itu. Kalah dengan mereka yang jumlahnya hanya 50 ribu. Dan hal itu tidaklah hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya pada masa itu. Sampai sekarang pun kita bisa melihat bagaimana bangsa Arab yang berjumlah lebih dari 200 juta itu tak berdaya menghadapi Israel yang penduduknya hanya sekitar 6 juta jiwa. Jadi, pada masa sekarang ini yang menentukan kekuatan terutama memang bukanlah kuantitas, tetapi kualitas. Oleh karena itu, yang perlu ditingkatkan pada masa ini tentunya juga adalah kualitas, bukan kuantitas. Sudah terlalu banyak kuantitas¬nya, bahkan sudah amat sangat berlebihan
Kependudukan dan Problem Sosial
Dengan semakin banyaknya penduduk, maka hal ini menyebabkan tidak tersedianya ruang yang cukup bagi semua orang untuk menyambung hidup. Di desa tanah pertanian semakin menyempit karena harus dibagi-bagi dengan saudara yang selalu bertambah jumlahnya. Dan akhirnya, ketika sampai kepada generasi yang kesekian, ketika tanah sudah tak lagi mencukupi, orang di desa pun pergi ke kota. Di kota mereka pun harus bersaing dengan penduduk asli kota tersebut maupun orang dari berbagai wilayah lain yang juga berjubel banyaknya. Jadi, semakin berjubel-jubel.
Bila pun masih ada yang berkeberatan terhadap penda¬pat di atas, maka ilustrasi berikut mungkin akan bisa membantu. Kita misalkan saja ada sebuah keluarga yang mempunyai sepuluh hektar sawah. Dan ini termasuk luas, kita bisa menyebutnya sebagai petani kaya. Tetapi, karena keluarga tersebut mempunyai sepuluh orang anak, maka ketika kedua orang tuanya meninggal masing-masing anak hanya akan mendapatkan warisan satu hektar sawah. Apabila kesepuluh orang tersebut kemudian rata-rata mem¬punyai enam orang anak, maka sawah yang hanya tinggal satu hektar itu pun harus dibagi lagi menjadi seperenam hektar. Ini tentunya jelas sangat tidak mencukupi. Kini, cucu petani kaya tersebut telah berubah menjadi petani melarat.
Pada akhirnya, ketika tanah di desa telah habis untuk dibagi-bagi dan semua orang desa berlarian pergi ke kota untuk menyambung hidup, maka hukum pasar pun berlaku pula di sini bahwa semakin banyak barang (atau dalam hal ini tenaga kerja), maka semakin murah pula harganya. Upah pekerja bisa ditekan semurah mungkin karena semakin membe¬ludaknya jumlah angkatan kerja sementara kesempatan yang tersedia amatlah terbatas sebab pertumbuhan kesempatan kerja memang tidaklah bisa secepat pertumbuhan angkatan kerja. Atau bila kita di sini mengambil rumus Malthus, maka jumlah angkatan kerja bertambah sejalan dengan deret ukur sementara kesempatan kerja hanyalah sejalan dengan deret hitung.
Akan tetapi, karena keseimbangan itu hanya akan bisa tercapai dalam jangka waktu yang cukup lama sementara tuntutan kehidupan sehari-hari tentunya dibutuhkan pada saat ini juga, maka nampaknya pemerintah haruslah mengusa¬hakan agar upah pekerja yang rendah ini bisa diperbaiki. Selain itu, nampaknya kita juga mesti membenahi satu hal yang lain lagi sebab nampaknya ada hubungannya juga dengan upah pekerja yang rendah. Dalam pelajaran ilmu ekonomi yang mesti dihapal di tiap sekolah hingga saat ini, kita selalu diajarkan suatu dogma bahwa seorang pelaku ekonomi mestilah dengan modal sekecil-kecilnya bisa mendapat untung sebesar-besarnya. Tak disebutkan lebih lanjut di situ dengan cara yang bagaimana. Tak disebutkan bahwa kita mestilah tetap memperhatikan etika. Kita seharusnya sudah menambah atau merevisi dogma itu dengan semestinya. Dan dogma semacam ini juga yang antara lain menyebabkan berba¬gai macam kejahatan dalam dunia usaha karena menyebabkan orang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan.
Walau pun para pekerja di Indonesia memang tak bisa digaji terlalu tinggi sebagaimana rekannya di berbagai negara maju dan mungkin perusahaan-perusahaan di sini memang tak bisa membayar sebesar itu, tetapi gaji tersebut seharusnya cukup bila hanya sekedar untuk membeli makanan yang bergizi, beli rumah yang memenuhi standar kesehatan, beli alat transportasi yang baik dan memadai (sepeda motor paling tidak), cukup untuk biaya pendidikan, bisa untuk beli majalah, koran atau buku, bisa untuk pergi ke dokter, bisa untuk rekreasi, dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari lainnya secara memadai tanpa harus perlu mengkredit atau berhutang kanan kiri yang seringkali harus menghabiskan setengah atau malah sebagian besar dari penghasilan per bulan dari kebanyakan masyarakat kita. Dan ini tentunya mengurangi tingkat kesejahteraan mereka.
Walaupun suatu saat nanti memang jumlah pekerja dan kesempatan kerja tidak bisa mencapai titik yang betul-betul seimbang, maka bila ada kurang lebihnya tidaklah terlalu menyolok. Karena pada saat ini jumlahnya memang sangat tidak berimbang, maka hal ini tentu membuat sulit pula untuk meningkatkan upah kaum pekerja. "Harga jual" mereka menjadi sangat rendah. Upah yang rendah ini pun pada akhirnya akan menimbulkan efek yang berantai pula. Dengan gaji yang rendah, maka para pekerja tersebut tidak akan mampu menyekolahkan anaknya dan memberi makan dengan gizi yang memenuhi syarat. Baik makanan yang bisa menunjang kesehatan tubuh maupun pertumbuhan otak. Berarti tidak akan ada peningkatan kecerdasan dari generasi bapaknya, malah bisa jadi akan semakin menurun. Selanjutnya, dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka kesadaran mereka akan masalah kependudu¬kan ini pun akan menjadi semakin rendah pula. Dengan demikian, jumlah penduduk akan semakin bertambah, upah pekerja pun akan semakin sulit ditingkatkan, angka kemis¬kinan dan tingkat pendidikan pun akan semakin susah pula dibenahi. Bagaikan sebuah lingkaran setan.
Selanjutnya, patutlah kita sadari bahwa luas tanah yang ada sangatlah terbatas. Kita misalkan saja bahwa di pulau Jawa penduduknya 100 juta jiwa. Kemudian kita misal¬kan bahwa di Jawa maksimal dibangun lima ribu pabrik atau perusahaan. Sekali lagi, ini jumlah maksimal, kecuali kalau diadakan penggusuran sawah atau perumahan penduduk. Lalu masing-masing perusahaan kita misalkan saja rata-rata mampu menampung lima ribu pegawai. Dan ini jumlah yang termasuk ideal bila kita misalkan setiap orang pekerja menghidupi rata-rata tiga orang anggota keluarga lainnya. Tetapi, bila jumlah ini terus-menerus bertambah tanpa henti, katakanlah hingga mencapai 200 juta jiwa (hanya di Jawa saja) dalam beberapa tahun mendatang, dan ini bukanlah jumlah yang mustahil mengingat kecepatan pertumbuhan selama ini, maka jumlah yang ideal itu akan menjadi tidak ideal lagi. Jumlah perusahaan tidak mungkin akan bisa bertambah karena lahan sudah tidak tersedia lagi. Terlebih lagi, semakin banyak areal persawahan yang telah berubah menjadi pemukiman penduduk. Dan kita memang tak akan pernah bisa menambah luas tanah yang ada, kecuali bila kita bisa mengeringkan Laut Kidul. Dan bertambahnya jumlah penduduk ini memang mau tidak mau akan menggusur areal persawahan menja¬di perumahan seperti yang bisa kita saksikan saat ini di mana-mana. Lalu, mau makan apa kita nanti? Dan bila suatu saat tanah telah habis semuanya kita mau pergi ke mana? Mendirikan rumah susun barangkali. Tetapi, apakah lingkungan semacam ini cukup sehat bagi perkembangan anak-anak? Lapangan untuk bermain sepakbola, bermain layang-layang, bermain gundu, voli dan badminton telah habis di mana-mana. Atau barangkali ada yang mengusulkan bertransmigrasi. Tetapi, bagaimana bila hutan di Sumatra Kalimantan dan berbagai tempat lain pun telah habis dibuat perumahan? Terlebih lagi, berapa persen dari kita yang mau pergi transmigrasi dengan sukarela? Terutama lagi bagi penduduk perkotaan atau setengah perkotaan yang telah terbiasa dengan keramaian dan fasilitas umum yang mudah terjangkau?
Karena di dalam negeri sudah tidak ada lagi pekerjaan yang tersedia dan juga sudah tidak ada lagi sawah yang bisa digarap, maka banyak di antaranya yang lalu merantau ke luar negeri. Dan kita tentu tahu bahwa hal ini sering¬kali menimbulkan masalah, terutama bagi kaum wanitanya. Bahkan, seringkali terjadi peristiwa yang menyedihkan menimpa mereka. Sementara itu, bagi mereka yang tidak tertampung di dalam negeri atau tidak punya biaya untuk pergi ke luar negeri, maka mereka terpaksa menjadi pen¬ganggur, setengah menganggur atau tukang tidur. Padahal, sebagian besar di antara mereka adalah termasuk dalam usia produktif. Dan dari tahun ke tahun kaum pen¬gangguran ini semakin banyak saja jumlahnya karena pertum¬buhan angkatan kerja selalu melebihi jumlah kesempatan kerja. Jadi, semakin lama semakin bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk-tumpuk….
Setiba pada bagian ini, walaupun mungkin saatnya kurang tepat, saya tiba-tiba merasa ingin sedikit bernos¬talgia sebab ketika sampai pada bagian ini saya memang menjadi teringat lagu Balada Sejuta Wajah yang pernah dibawakan oleh grup God Bless semasa tahun delapanpuluhan. Sebuah lagu yang menjadi favorit seorang teman saya ketika masih di sekolah menengah dulu. Lagu yang berkisah tentang kaum urban, keriuhan di kota-kota besar dan kaum semut yang terhimpit di tengahnya. Teman saya yang satu ini memang sangat suka dengan lagu tersebut dan kerap meminta saya untuk membawa¬kannya secara unplugged, meski dengan petikan gitar ala kadarnya sebab saya memang tidaklah selihai Ian Antono.
Dan sekarang ini, ketika sesekali saya mampir ke seorang teman yang kebetulan punya sedikit “bisnis” di salah satu sudut trotoar di kota budaya ini dan terkadang menemaninya nongkrong hingga malam hari, saya menjadi teringat isi lirik dari lagu tersebut. Dan rekan seperjuangan teman saya ini, yang dulu jumlahnya tak seberapa, kini semakin banyak saja, saling berdesak di kiri-kanan dan depannya. (Semoga suatu saat tidak sampai berdesak di atas dan bawahnya). Banyak pula di antara mereka yang berasal dari luar kota. Dan bagi orang yang nglemer seperti saya ini, sewaktu musim hujan begini saya sering merasa kagum dengan ketangkasan dan kecepatan mereka dalam berkemas ketika langit mulai turun hujan. Hanya dalam hitungan detik saja mereka telah bisa mengemasi semuanya. Mungkin mereka lebih tangkas dari suku-suku nomad di Mongolia.
Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, ketika ia mulai "mengawali karirnya", dua buah rambu yang menyatakan bahwa di sekitar tempat itu dilarang berjualan masih terpasang dengan manis dan rapinya, dengan cat dasar merah yang menyolok mata. Tetapi, sekarang sudah mulai meluntur dan tak jelas lagi. Mungkin yang berwenang sudah malas mengecatnya lagi karena sudah capek mengatasi ke¬bandelan mereka. Ia sering bercerita tentang hal itu. Ia pun dulu kerap pula terkena gusuran meski sekarang memang tak pernah ada lagi.
Ia dulu telah sempat berkelana ke mana-mana, ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, untuk mendapatkan kerja yang sepantasnya. Tetapi, ternyata ia sekali lagi hanya membuktikan bahwa hukum pasar dalam tenaga kerja memang benar adanya. Kerja suntuk seharian dengan upah ala kadarnya. Ia pun akhirnya lebih memilih untuk mengabdi di kaki lima yang menurutnya lebih bebas dan "menjanjikan". Tetapi, penghasilannya kadang ternyata memang lebih baik bila dibandingkan dengan standar UMR. Hanya saja memang tak selalu demikian. Ada kalanya ia pulang larut malam hanya dengan membawa tubuh yang basah kuyup kehujanan.
Oh ya, dari teman tersebut saya juga lalu mengeta¬hui arti dari kata kaki lima. Suatu kata yang bagi saya sebelumnya terasa aneh dan menimbulkan tanda tanya. Ternyata, ini bukanlah karena mereka tergolong spesies mahluk berkaki dua yang mengalami mutasi genetika, tetapi itu adalah singkatan dari "kanan kiri lintas manusia". Demikian jelas teman tersebut. Entah benar entah tidak.
Saya dulu biasa memainkan lagu Sejuta Wajah tersebut dengan nada gembira, nada anak-anak remaja. Tetapi, seka¬rang saya tahu bahwa seharusnya saya dulu memainkannya dengan nada yang sebaliknya. Dan bunyi lagu itu pun seka¬rang terasa nyata dan bukan lagi hanya berupa nada-nada. Apalagi, ternyata jumlah mereka bukanlah hanya sejuta dan mereka pun ternyata bukan hanya berada di kali lima, tetapi ada di mana-mana.
Meski demikian, ia nampaknya menikmati kehidupannya. Sepenilaian saya, ia merasa bebas dan bahagia. Dan bukankah itu sebenar¬nya yang dicari oleh setiap manusia? Ia bilang bisa berangkat kapan saja ia mau dan kapan saja ia tidak mau. Meski demikian, ia berangkat setiap hari. Bahkan pada hari Minggu dan tanggal merah sekali pun, sebab pada saat seperti itulah justru ramai pembeli. Ia juga sudah merasa at home di sana. Dan bila malam sedang cerah, saya sendiri pun terkadang merasa ayem juga ketika sedang ikut duduk selonjoran di sana sambil menikmati minuman atau makanan kecil yang dibelinya dari sebuah warung angkringan terdekat bila saya sedang mampir ke sana. Sekali-sekali, bila sedang banyak rezeki, ia juga mentraktir saya mie ayam yang kebetulan lewat di jalan. Ia orangnya cukup murah hati memang. Tetapi, sekarang ini saya memang sudah sangat jarang sekali ke sana karena semakin riuhnya jumlah mereka sehingga tidak bisa enjoy lagi.
Meski demikian, biarpun ia merasa bebas dan bahagia, entahlah, bagaimana ia kelak di kemudian hari. Toh, seperti yang saya rasakan walaupun mungkin sudah tak terkatakan lagi olehnya, ia juga sebenarnya ingin mendapat pekerjaan yang selayaknya. Dan penghasilan yang secukupnya juga. Dan tentunya juga istirahat dan hari libur yang secukupnya pula.
Adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang menghiba? Demikian bunyi lirik penutup dari lagu tersebut.
Entahlah, sebab meskipun sekarang ini program untuk mengontrol penduduk tak dimusuhi dan malah dianjurkan, pada umumnya orang memang bersikap acuh tak acuh terhadap masalah ini. Sikap seperti ini memang merata di setiap negara berkembang. Sikap yang aneh memang, orang mengantuk tetapi menolak ketika disorongkan kasur springbed. Suatu sikap yang sebenarnya bertentangan dengan bunyi peribahasa. (Oh ya, bunyi peribahasa tadi sudah sedikit saya “perbaiki”). Dan orang nampaknya lebih suka untuk memenuhi dunia yang sema¬kin sempit ini dengan segala kesumpekan dan kekusutannya.
Tetapi, sekian dulu bernostalgianya dan kita kembali lagi meneruskan pembahasan. Dan mudah-mudahan kita masih tetap bisa bersikap optimis. Mudah-mudahan, sebab walaupun mungkin ada beberapa bagian dari kalimat di sini yang bernada gurauan, sebenarnya saya ingin menulisnya dengan kalimat-kalimat yang muram. Muram karena menyaksikan segala kemuraman yang ada di depan mata. Tetapi, agaknya saya memang tak bisa menulis kalimat sedemikian. Meski demikian, semuram apa pun keadaannya, agaknya kita memang tetap harus selalu bersikap optimis. Bila tidak, maka tak akan ada lagi harapan
Jumlah kaum pengangguran yang semakin melimpah ruah ini pun pada akhirnya menimbulkan banyak masalah juga karena orang yang tidak bekerja bukan berarti mereka lalu tidak makan. Mereka tetap makan juga dan banyak di antaranya yang kemudian terpaksa melakukan apa saja untuk menyambung hidupnya. Bila sebagian di antara mereka masih bersedia untuk menyambung hidup secara halal, maka ternyata banyak juga di antaranya yang kemudian terpaksa harus dengan cara melanggar hukum dan norma agama sebab kebutuhan perut memang tak dapat ditunda sehari pun. Bila kaum prianya banyak yang terjerumus melakukan kejahatan, maka kaum wanitanya banyak yang terperosok ke dalam prostitusi. Dan rasanya, tidak ada seorang pun yang bercita-cita untuk menjadi penjahat semasa kecilnya. Juga menurut sebuah penelitian, 95 persen wanita tuna susila sebenarnya juga ingin melakukan pekerjaan yang lain.[1] Yang halal, yang terhormat, yang baik-baik. Kalau ada. Yah, memang mana ada wanita yang semasa kecilnya pernah bercita-cita untuk menjadi pelacur.[2] Cobalah tanya anak-anak kecil di kam¬pung Anda apa cita-cita mereka ketika dewasa kelak. Apakah ada yang bercita-cita untuk menjadi pelacur?
Karena itu, kita memang tidak bisa memberantas keja¬hatan, tidak bisa memberantas pelacuran, bila rakyat kita masih didera kemiskinan. Tidak bisa hanya dengan menembaki setiap penjahat karena mereka akan tumbuh lagi. Tidak bisa hanya dengan beramai-ramai membakari kompleks prostitusi karena mereka akan mencari tempat yang lain lagi. Bukan pekerjaan yang lain karena memang tidak ada. Apa yang harus kita lakukan memang adalah memberantas penyebabnya, yaitu memberantas kemiskinan dan pengangguran. Dan salah satu cara memberantas kemiskinan dan pen¬gangguran ini adalah dengan kontrol kelahiran sebab dengan kontrol kelahiran kita akan bisa dengan lebih mudah men¬gatasi kemiskinan karena akan terdapat ruang yang cukup bagi semua orang untuk mencari makan. Dengan itu pula kita akan bisa dengan lebih mudah mengatasi pengangguran karena kita memang akan bisa lebih mudah pula mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja senantiasa sesuai dengan lapan¬gan kerja yang tersedia. Bisa mengupayakan agar setiap orang bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak sehingga ia tidak akan mudah tergoda untuk melaku¬kan hal-hal yang melanggar hukum maupun norma agama. Dengan tersedianya pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi setiap orang, maka dengan demikian kita telah bisa memberantas kejahatan tanpa harus menembaki setiap penja¬hat. Bisa membasmi pelacuran tanpa harus membakar setiap kompleks prostitusi.
Kita juga tidak lagi akan diresahkan oleh ulah para pemuda pengangguran yang nongkrong di sudut-sudut jalan sambil bermabuk-mabukan. Mengompas orang yang kebetulan lewat. Juga tak perlu lagi diresahkan oleh ulah "pak ogah" atau anak-anak jalanan yang sekedar mencari uang logam di setiap perempatan jalan. Mereka semua tidak akan ada bila mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan peng¬hasilan yang layak. Mereka akan hidup tenang tentram di rumah bersama keluarganya, bersama istri dan anak-anaknya, bersama saudara dan keluarganya tanpa harus mencari mangsa atau menggangu orang lain di jalan-jalan.
Jadi, hal utama yang harus kita lakukan memang adalah meniadakan kondisi lingkungan yang bisa menyebabkan terja¬dinya pelanggaran hukum dan norma agama tersebut. Tetapi, apa boleh buat, selama hal itu belum tercapai hukum yang tegas tetaplah harus dijalankan karena masyarakat pun haruslah bisa dijamin keamanannya. Akan tetapi, bila kita memang benar-benar mau memikirkan dan berupaya mengatasi masalah kependudukan dengan serius, maka secara perlahan-lahan angka kejahatan dan juga berbagai macam problem sosial lainnya akan bisa ditekan seminimal mungkin. Dan akan bersihlah bumi Indonesia ini dari pelacuran, kejaha¬tan, kemiskinan dan pengangguran. Akan terciptalah negeri yang tata tentrem kerta raharja gemah ripah loh jinawi.
Oleh karena itu, sekali lagi, kita memang harus berupaya memikirkan dan mengatasi masalah kependudukan ini dengan sebaik-baiknya. Tanpa itu, jangan harap kesejahte¬raan dan kemakmuran akan bisa terwujud meskipun pemerinta¬han yang ada adalah pemerintahan yang benar-benar demokra¬tis dan jujur sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan semakin sulit pula bagi kita untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran serta berbagai macam problem sosial lainnya. Kita bisa melihat bahwa dengan jumlah penduduk yang "hanya" 200 juta saja sudah banyak orang yang keleleran, apalagi bila jumlah itu terus-menerus bertambah tanpa henti seperti yang terjadi selama ini. Akan semakin banyak orang miskin, semakin sempit tanah yang ada, semakin mahal harga rumah, semakin sulit dan mahal pula tanah kuburan (betapa malangnya nasib anak cucu kita nanti, apakah mesti kita larung saja mayat mereka di Laut Kidul?), juga akan semakin banyak kampung kumuh, semakin banyak pengemis dan kaum jembel, semakin sulit cari kerja, semakin banyak pengangguran, semakin banyak kejahatan, semakin banyak “pak ogah”, semakin banyak anak jalanan, semakin marak prostitusi, semakin membanjir arus urbanisasi dan ke luar negeri, semakin sempit trotoar karena diserobot kaki lima, semakin macet jalan-jalan, semakin sulit cari tempat parkir, semakin bertimbun asap polusi, semakin sulit air tanah, semakin habis hutan lindung, semakin.... Dan seterusnya. Boleh diteruskan sendiri. Pokoknya, semuanya menjadi bertambah semangkin saja.
Bila pun masih ada yang kurang yakin tentang hal ini bisa menengok ke negara-negara Asia Selatan. Serba kumuh dan amburadul. Tingkat kesejahteraan rakyat dan jumlah buta hurufnya masihlah sangat memprihatinkan walau¬pun mereka adalah negara-negara yang demokratis, bahkan sampai ada yang dijuluki sebagai negara demokratis terbe¬sar di dunia.
Kependudukan dan Masalah Lingkungan
Selain menimbulkan berbagai macam masalah sosial, jumlah penduduk yang semakin bertambah ini juga menimbul¬kan dampak pada masalah yang lain, yaitu masalah lingkun¬gan. Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak areal persawahan dan hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk. Dan bila tadi sudah dibahas bagaimana jumlah penduduk yang semakin bertambah ini menyebabkan urbanisasi dan menimbulkan berbagai masalah sosial di kota-kota, maka kali ini kita bisa melihat bagaimana mereka yang tinggal menetap di desa pun menimbulkan masalah lain yang tak kalah seriusnya, yaitu kehancuran hutan yang ada, termasuk juga hutan lindung yang mesti dijaga.
Potret bumi belakangan ini memang menyedihkan. Dalam kurun dua puluh tahun belakangan ini planet tempat tinggal kita telah kehilangan pepohonan seluas 200 juta hektar -sebanding dengan sepertiga luas daratan Amerika. Petani di seluruh dunia kehilangan 500 juta ton lapisan tanah paling subur -jumlah yang sebanding dengan tanah yang membentang di India ditambah dengan luas daratan Perancis. Danau-danau, sungai, bahkan seluruh lautan telah berubah menjadi got raksasa dan gudang limbah. Dan puluhan ribu spesies tumbuhan dan binatang yang hidup bersama kita di berbagai tempat kini punah.
Akar dari kehancuran ini adalah kombinasi antara pertambahan penduduk dan kemiskinan di dunia ketiga. Diperkirakan, 60 % perusakan hutan di negara berkem¬bang itu, menurut majalah The Economist, bukan dise¬babkan oleh penebangan hutan untuk kayu gelondongan, melainkan karena diubahnya hutan menjadi tempat pemukiman dan lain-lain. Malah Noel Brown, direktur untuk Program Lingkungan PBB, menhitung bahwa penye¬bab kerusakan hutan 80% adalah akibat pertambahan penduduk.[3]
Meski demikian, ini bukanlah berarti bahwa perusakan hutan oleh perusahaan raksasa kemudian kita abaikan begitu saja sebab jumlah 20 hingga 40 persen dari ratusan juta hektar bukanlah jumlah yang sedikit. Dan bila dibiarkan, maka lama-lama pun akan bisa menghancurkan seluruh hutan yang ada.
Kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh penebangan yang semakin menjadi-jadi, baik oleh penduduk lokal maupun perusahaan besar, selain mengakibatkan apa yang telah disebutkan di atas, juga akan bisa menyebabkan banjir, tanah longsor serta endapan lumpur. Di Serawak misalnya, erosi ini telah menyebabkan endapan lumpur mencemari dua pertiga sungai di sana. Entahlah apa pendapat Dr. Mahathir tentang masalah ini. Lenyapnya hutan tropis ini juga berarti tidak akan ada lagi paru-paru dunia yang bisa menyerap polusi yang semakin melimpah, yang pada saat ini sebagian terbesar adalah hasil sumbangan dari negara-negara industri maju. Dan kelak ditambah dengan semua negara yang ada di dunia sebab semua negara-negara berkembang memang bercita-cita ingin menjadi negara industri besar. Besar-besaran kalau perlu, meski dengan gaji pekerja cukup kecil-kecilan saja.
Pada akhirnya, kerusakan hutan ini juga akan bisa memusnahkan jutaan spesies flora dan fauna yang ada, termasuk juga tanaman yang bisa bermanfaat bagi obat-obatan. Tak sampai 30 tahun lagi, pada tahun 2020 diperki¬rakan sepersepuluh sampai seperlima dari 10 juta spesies tanaman dan tumbuhan akan musnah sebab 50 persen dari spesies itu hidup di hutan-hutan tropis yang terus digero¬goti. Dan sekali sebuah spesies musnah, ia akan musnah untuk selamanya.[4] Bagi peminat ilmu alam, hal seperti ini akan bisa membuatnya merasa berduka. Barangkali perkataan Nietszche memang benar adanya. “Dunia ini begitu indah,” demikian katanya suatu ketika. “Tetapi, ia mempunyai wabah yang sangat berbahaya: manusia.”
Selain mengakibatkan kehancuran hutan yang ada, pertambahan penduduk yang semakin tak terkendali juga akan bisa mengakibatkan pencemaran yang luar biasa pada pantai dan lautan.
Kini tamasya laut bukan lagi janji kenyamanan. Mereka yang dekat dengan pantai tahu bahwa kini laut-laut begitu jorok, dipenuhi sampah plastik, dan ikan-ikan lenyap. Tapi, sebenarnya, tumpahan minyak, limbah pabrik dan sampah kota cuma masalah yang kasat mata. Ancaman utama untuk laut, 70 sampai 80 persen dari seluruh polusi bahari adalah sedimen dan pence¬mar yang mengalir ke laut dari sumber daratan, seper¬ti lapisan tanah teratas, pupuk, pestisida dan segala bentuk buangan industri. Terumbu karang, khususnya, amat rawan terhadap sedimen. Kini karang yang menye¬diakan rumah bagi sebagian besar spesies ikan di dunia di sepanjang Asia, Australia dan Karibia mulai berkurang.
Itulah akibat populasi penduduk pesisir yang tahun 1980 berjumlah 617 juta, kini sudah lebih dari 900 juta, dan diperkirakan akan menjadi 997 juta jiwa pada tahun 2000 nanti. Sekitar 6,5 juta ton sampah ditemukan mengalir ke laut setiap tahun.[5]
Jadi, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali ini memang bisa menyebabkan berbagai masalah dalam berbagai bidang kehidupan. Mengenai pencemaran pada lautan ini adalah suatu hal yang rasanya mengkhawatirkan mengingat dua pertiga negeri kita ini adalah terdiri dari lautan. Terlebih lagi lautan sebenarnya menyimpan kekayaan yang selama ini belum tereksploitasi sepenuhnya. Ikan-ikan kita sebagian besar membusuk di lautan tanpa sempat dikail nelayan.
Dan bila berbicara tentang masalah ikan dan lautan, maka mungkin di sini perlu diberi tambahan sedikit. Mulai saat ini, kita nampaknya perlu lebih memperhatikan dan beralih orientasi menuju lautan di dalam memenuhi kebutu¬han ekonomi mengingat lautan ini adalah sumber penghasilan yang tak akan ada habisnya. Bisa dimanfaatkan sampai kapan saja. Karena itu, marilah kita lupakan sejenak tambang di Papua atau minyak di Aceh, toh sebentar lagi akan habis juga. Kita rasanya perlu membangun suatu armada nelayan yang modern sehingga hasil lautan ini nanti bisa menjadi sumber pendapatan yang bisa diandalkan.
Terlebih lagi, tidak seperti halnya hutan, kegia¬tan perikanan ini tak memerlukan reboisasi yang memakan waktu bertahun-tahun atau malah puluhan tahun sebelum bisa dipetik hasilnya. Ikan bisa besar dan tumbuh dalam waktu singkat. Kita juga tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun sebab mereka telah dibesarkan di lautan bebas. Kita hanya cukup menjaga seperlunya agar kehidupan laut tetap berkem¬bang dengan baik dan bisa terus dimanfaatkan hingga ke generasi-generasi yang berikutnya. Bila kita memang mau membangun armada nelayan yang modern ini, maka kita bukan hanya bisa berlayar di sekitar Indonesia saja yang sebe¬narnya sudah cukup kaya, tetapi juga bisa hingga ke Lautan Pasifik. Atau kalau hasilnya memang memadai kita pun bisa berlayar ke Samudra Hindia di Selatan, bahkan hingga ke Antartika.
Potensi yang ada di lautan ini memang tak terbatas jumlahnya bagi negara yang dikelilingi lautan luas seperti Indonesia ini. Di sini kita agaknya perlu meniru Thailand yang walaupun negara tersebut termasuk negara agraris, ternyata pendapatan Thailand dari ekspor hasil lautnya telah melebihi pendapatan dari hasil pertaniannya. Mereka telah menjadi salah satu negara pengekspor hasil laut terbesar di dunia.[6] Dan karena luas lautnya tak seberapa, nelayan Thailand pun terpak¬sa sering "kesasar" ke Indonesia. Padahal, sebagaimana kita ketahui, Thailand dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Asia dan ekspor hasil pertanian merupakan salah satu andalan utamanya. Tetapi, itu sekarang telah dikalahkan oleh hasil laut.
Jadi, mudah-mudahan potensi yang ada di lautan ini nanti bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Dan rasanya kekayaan itu akan bisa memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perbaikan taraf ekonomi rakyat Indonesia. Tentunya bila jumlah penduduk Indonesia tidak terus-menerus bertambah. Dan juga tentunya bila kita tak terus-menerus mencemari lautan sehingga akan bisa memusnahkan kehidupan di sana.
Ruh dan Aborsi
Aborsi ini juga merupakan masalah yang sering diper¬debatkan dan menimbulkan pro-dan kontra. Satu pihak menye¬tujuinya sebagai salah satu cara untuk menekan laju per¬tumbuhan penduduk sedangkan yang tidak setuju biasanya mengemukakan alasan-alasan moral dan keagamaan. Mereka beranggapan bahwa praktek aborsi itu merupakan pembunuhan terhadap bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, pihak yang tidak setuju ini malah ada yang sampai menyerang klinik-klinik aborsi, serta mengancam dan membunuh para dokter yang berani melakukan praktek aborsi. Pada tahun 1994, sewaktu diadakan konperensi kependudukan di Kairo, malah ada kejadian yang cukup menarik di mana golongan agama, baik Kristen (yang dipelopori oleh Gereja) maupun Islam (yang didukung sebagian besar umat Islam) bersatu padu untuk menentang diperkenankannya praktek aborsi untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk.
Di negara-negara berkembang, kasus aborsi pada umum¬nya memang tak terlalu banyak karena mayoritas masih tetap menentangnya. Sementara itu, di Eropa dan Amerika di mana pendukung kedua kubu ini sama kuatnya, hal ini seringkali menjadi masalah. Jumlah wanita yang melakukan aborsi di sana memang sangatlah tinggi, malah di berbagai negara Eropa, terutama Eropa Timur, aborsi ini sudah dianggap sebagai hal yang lumrah saja. Sebagai contoh, pada tahun 1981 di Perancis satu dari empat wanita hamil menggugurkan kandungannya. Di Polandia angka aborsi lebih besar dari angka kelahiran, setiap tahun 800.000 hingga satu juta bayi digugurkan sementara jumlah bayi yang lahir hanyalah sekitar 700.000 saja. Di Romania sekitar 60 persen kehamilan berakhir dengan aborsi dan ini menyebabkan angka pertumbuhan penduduk di Rumania adalah yang terendah di seluruh Eropa. Sedangkan di Uni Sovyet, wanita di sana rata-rata pernah melakukan empat kali aborsi selama hidup¬nya dan angka aborsi di sana tertinggi di seluruh dunia, yaitu sekitar sepuluh juta bayi digugurkan setiap tahun¬nya.
Tingginya angka aborsi inilah yang menyebabkan kenapa Gereja di Barat sangat menentang aborsi. Berapa pun usia kandungan ia tetap tidak boleh digugurkan. Adanya pendapat seperti ini nampaknya antara lain juga disebabkan karena negara-negara Barat tidak pernah mengalami dan merasakan sendiri akibat bertambahnya jumlah penduduk tanpa terkenda¬li. Sementara itu, di kalangan umat Islam ada sedikit perbedaan pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat yang paling umum adalah karena adanya hadits yang menyatakan bahwa bayi di dalam kandun¬gan baru diberi ruh setelah berusia tiga bulan. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa aborsi itu boleh dilakukan sebelum berusia tiga bulan, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa tindak aborsi itu haram sama sekali biarpun bayi yang dikandung itu adalah hasil pemerkosaan dan tidak dikehendaki oleh ibunya. Ia tetap tidak boleh digugurkan. Entah bagaimana nasib bayi tersebut bila ia lahir. Siapa yang akan mengasuhnya kelak? Apakah mereka yang menentangnya bersedia mengasuh bayi hasil pemerkosaan tersebut bila ibunya ternyata bersikeras tidak mau mengasuhnya karena alasan-alasan traumatik? Jawabannya, jujur saja, sebagian besar adalah tidak.
Sebenarnya, bila kita mau berbincang lebih jauh lagi mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh, ini memang merupakan masalah yang sangat pelik. Rasanya, kita di sini lebih baik berpegang kepada ayat Al-Quran karena suatu hadits itu memanglah tidak bisa dijadikan pegangan bila bertentangan dengan Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Dalam salah satu ayat Al-Quran disebutkan:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Kata¬kanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanmu dan kamu hanyalah diberi sedikit pengetahuan tentang itu.
Apa yang tersebut pada ayat di atas sangatlah tepat sebab masalah ruh ini memang sukar sekali untuk kita pahami, termasuk juga tentang kapan manusia mulai mempun¬yai ruh di dalam kandungan. Bila kita mau menilik sedikit lebih ke belakang lagi dalam proses reproduksi manusia, maka akan semakin sulitlah bagi kita untuk mengatakan bahwa ruh itu baru ada setelah tiga bulan di dalam rahim. Cobalah kita pikirkan, bukankah sel-sel sperma yang menja¬di calon manusia itu itu sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai mahluk hidup? Mereka bisa bergerak sebagaimana mahluk-mahluk hidup yang sederhana lainnya walaupun umur¬nya memang cukup pendek. Tetapi, bukankah mereka hidup? Dengan demikian, bila sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup, bukankah mereka mempunyai ruh juga? Demikian pula sel telur merupakan sel-sel mahluk hidup dan bukan benda mati.
Selain itu, bila kita mau meneliti proses perkemban¬gan embrio di dalam rahim, maka kita akan mengetahui bahwa pada umur 18 hari jantung telah mulai berfungsi. Dan pada umur tujuh minggu atau sekitar satu setengah bulan calon bayi telah mempunyai gelombang otak (brain waves). Ada tidaknya gelombang otak ini adalah salah satu kriteria yang menentukan apakah bayi itu hidup atau mati.
Jadi, tentang kapan manusia mulai mempunyai ruh memang suatu hal yang masih bisa diperdebatkan lagi. Apakah di dalam testis, tempat diproduksinya sperma? Ataukah justru sebelum masuk ke tubuh manusia, yaitu di dalam tumbuh-tumbuhan sebab bukankah tumbuhan ini yang pertama kali mengolah zat anorganik menjadi zat organik? Ataukah...? Jadi, mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh memang cukup sulit untuk ditentukan. Manusia, seperti disebutkan pada ayat di atas, memang hanya diberi sedikit pengetahuan saja tentang masalah ruh.
Bila pun kita mau sedikit berpanjang lebar lagi, maka kita akan menjadi semakin memahami bahwa sebenarnya masa¬lah ruh ini memang tidaklah sesederhana yang selama ini kita pikirkan. Malah terkadang tidaklah mudah untuk menen¬tukan apakah suatu mahluk hidup itu bisa disebut sudah mati atau masih hidup. Atau apakah suatu zat itu bisa disebut sebagai zat mati atau zat hidup. Seperti misalnya saja ada seekor binatang kecil bernama tardigradus. Bina¬tang ini bila dalam keadaan biasa berumur sangat pendek, tetapi bila dikeringkan, maka ia akan menyerupai sebutir debu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali pada mahluk itu. Dalam keadaan kering seperti itu ia bisa disimpan hingga 20 atau 25 tahun dan bisa hidup lagi bila dimasukkan ke dalam air. Demikian pula ada sejenis siput yang bisa hidup lagi bila dibasahi dengan air setelah ia dikeringkan bertahun-tahun. Jadi dimanakah letak ruh itu?
Selain itu, jasad renik yang seringkali menyebabkan penderitaan bagi umat manusia, yaitu virus, adalah zat yang sulit sekali ditentukan apakah bisa digolongkan sebagai benda mati ataukah mahluk hidup. Virus ini sering disebut sebagai mahluk peralihan antara benda hidup dan benda mati. Bila dikeringkan ia bisa dianggap sebagai benda mati, yaitu berupa kristal dan bisa diperlakukan seperti zat kimia biasa lainnya. Tetapi, bila dimasukkan lagi ke dalam air, maka ia bisa berubah kembali menjadi mahluk hidup yang sangat berbahaya.
Virus ini bisa juga dipisahkan antara lapisan luarnya yang berupa protein (protein coat) dan intinya yang berupa asam nukleat (DNA atau RNA). Sewaktu terpisah, keduanya adalah zat-zat organik biasa yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Mereka tidak makan atau melakukan reproduksi. Zat yang sama sekali tidak berba¬haya. Tetapi, setelah dipeisahkan sedemikian rupa, bila ditaruh dalam medium dan kondisi yang memungkinkan mereka bisa menyatu kembali secara alamiah dan spontan, menjadi mahluk hidup lagi. Bisa kembali melakukan reproduksi, menjadi parasit dan berbahaya kembali.
Peristiwa di atas, penyatuan kembali zat-zat organik secara alamiah, oleh para ilmuwan dianggap sebagai hal yang sangat menarik karena bisa memberikan titik terang tentang asal mula kehidupan di bumi, yaitu sebelum terben¬tuknya zat-zat organik secara alamiah dari zat-zat anorga¬nik, maka zat-zat itu bisa membentuk rangkaian yang lebih kompleks dan menjadi hidup! Pembentukan rangkaian itu secara alamiah dan spontan (spontaneous self-assembly) dimungkinkan karena adanya gaya tarik menarik yang sangat kuat antar molekul (hydrogen bonding) yang sangat kuat, milyaran kali lebih kuat dari gravitasi bumi. Gaya tarik menarik ini disebabkan adanya perbedaan muatan pada atom. Atom hidrogen bermuatan positif sedangkan atom-atom lain yang menjadi komponen utama penyusun zat-zat organik seperti oksigen dan nitrogen bermuatan negatif. Proses pembentukan zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik ini disebut sebagai evolusi kimia (chemical evolution) untuk selanjutnya disambung dengan evolusi mahluk hidup. Jadi, ini memang adalah masalah yang sangat pelik dan entahlah apakah manusia nanti pada akhirnya akan bisa memahami masalah ini.
Meski demikian, walaupun kita memang tidak bisa atau pun belum bisa memahami masalah ruh ini, ini bukanlah kita di sini lalu langsung bisa begitu saja menyetujui praktek aborsi. Aborsi ini tetaplah suatu pilihan terakhir yang hanya bisa dilakukan bila keadaannya memang sudah sangat memaksa. Dan ini bukanlah karena masalah ruh tadi karena bila kita berangkat dari pemikiran ini, maka sebenarnya alat kontrasepsi yang yang mencegah bersatunya sel dengan sperma, yang bula tidak dicegah akan tumbuh menjadi manusia, bisa dikatakan mematikan hak hidup dari seorang calon manusia juga. Lagipula, seperti telah disebutkan di atas, bukankah sel sperma pun sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup? Jadi, bila aborsi ini memang suatu hal yang kurang bisa diterima, maka kita di sini lebih melihatnya dari sudut pandang bahwa aborsi ini seringkali membahaya¬kan keselamatan jiwa dari wanita yang melakukannya. Jadi, aborsi ini tetap merupakan hal yang sebisanya harus di¬hindari oleh wanita. Oleh karena itu, bila seorang wanita memang tidak atau belum menghendaki seorang bayi, maka sebaiknya ia menggunakan alat kontrasepsi sehingga mence¬gah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Tetapi, seandainya saja suatu saat kita dihadapkan kepada kenyataan bahwa keadaan memang sudah sangat memaksa karena sudah semakin padatnya jumlah penduduk sehingga aborsi ini memang terpaksa dimasukkan sebagai upaya untuk mengontrol kelahiran (sekali lagi, hanya untuk mengontrol kelahiran) dengan catatan bahwa hal-hal yang bisa membaha¬yakan wanita yang menjalaninya bisa diatasi, maka pada saat itu pula kita dihadapkan kepada dua pilihan. Dan di sini, kita memang dihadapkan kepada pilihan yang kurang buruk di antara dua pilihan yang sama-sama buruknya, yaitu manakah yang lebih baik yaitu menggugurkan janin yang belum bisa merasakan apa-apa, belum bisa merasakan rasa sakit dan lapar (karena sel-sel otak yang memang belum berkembang secara penuh) ataukah membunuhi mereka sebagai penjahat ketika mereka sudah dewasa, membantai mereka secara beramai-ramai di jalan-jalan--dan ini memang seringkali terjadi--karena semakin meluap¬nya angka kemiskinan dan pengangguran. Membiarkan mereka berbunuh-bunuhan berebut sesuap nasi, membiarkan mereka jadi pelacur di jalan-jalan, terkena penyakit kelamin dan mati kena AIDS ketika mereka sudah dewasa kelak. Ketika mereka sudah bisa merasakan lapar, merasakan sakit, merasakan kesedihan dan penderitaan.
Kemudian, supaya bisa lebih memahami apa yang dikemu¬kakan di atas, sebenarnya di dalam fiqih sendiri terdapat prinsip yang tak jauh berbeda dengan hal di atas, yaitu akhoffu dlararain. Lengkapnya adalah:
Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang sama berbahayanya (sama buruknya) adalah wajib. (al-Hadits)
Dan dari sini mudah-mudahan kita nanti akan bisa semakin bisa memahami bahwa agama itu diturunkan ke dunia adalah untuk kebahagiaan dan kese¬jahteraan umat manusia, bukan malah untuk menyulitkan dan menyengsarakan manusia. Dan memang banyak penderitaan dan keseng¬saraan yang menimpa manusia antara lain adalah disebabkan kesalahan di dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin kita perlu sekali lagi mendefinisikan arti kata moral. Atau mungkin kita juga bisa bertanya, yaitu tindakan yang bermoralkah membiarkan anak-cucu kita menjadi kaum gelandangan, pengangguran, anak jalanan, penjahat dan pelacur karena kemiskinan yang diakibatkan berlebihnya jumlah penduduk? Bila kita mempelajari anthropologi dan sejarah etika, barangkali kita akan lebih bisa memahami masalah ini. Moral memang haruslah senantiasa ditujukan kepada kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan umat manusia. Itulah tujuan dari kata moral dan bukan sebaliknya.

0 Responses to "TENTANG MASALAH KEPENDUDUKAN"

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.