AKSIOLOGI ILMU

Written by oman on Senin, 29 Desember 2008 at 09.44

Rasa keingin tahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkunga
Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir sebuah konsep yang dinamakan ilmu. Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain. Pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Satu contoh ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftn1
II Pembahasan
A. Pengertian Aksiologi dan Ilmu
1. Definisi Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftn2dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
2. Definisi Ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu scientia yang berarti ilmu. Atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan. Ilmu atau sains adalah pengakajian sejumlah penrnyataan-pernyataan yang terbukti dengan fakta-fakta dan ditinjau yang disusun secara sitematis dan terbentuk menjadi hukun-hukum umum.
B. Perbedaan dan Fungsi Ilmu
1. Perbedan Ilmu, dan Pseudo IlmuG:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftn3
Dari definisi diatas setidaknya kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima oleh akal melalui pembuktian-pembuktian empiris.
Disisi lain ada sebuah kategori yaitu Pseudo Ilmu. Secara garis besar pseudo ilmu adalah pengetahuan atau praktek-praktek metodologis yang di klaim sebagai pengetahuan. Namun berbeda dengan ilmu, pseudo ilmu tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang di
Keberadaaan ilmu timbul karena adanya penelitian-penelitian pada objek- objek yang sifatnya empiris. Berbeda halnya dengan pseudo ilmu yang lahir atau timbul dari pentelaahan objek-objek yang abstrak. Landasan dasar yang dipakai dalam pseudo ilmu adalah keyakinan atau kepercayaan.
Perbedaan keduanya dapat kita ketahui dari penampakan yang menjadi objek penelitian masing-masing bidang. Atau dengan kata lain perbedaan tersebut ada pada sisi epistmologinya.
2. Fungsi Ilmu
Sebelumnya kita telah berbicara mengenai bagaimana perbedaan ilmu dan pseudo ilmu dilihat dari karakter objek penelitiannya. Berikutnya kita akan membicarakan apa sebenarnya fungsi dan kegunaan pegetahuan. Argumen-argumen yang dikemukakan dalam pengetahuan kemudian menjadi satu bentuk konsep yang terangkum dalam sebuah teori.
Menurut Ahmad Tafsir,G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftn4 teori mempunyai tiga fungsi dilihat dari kegunaan teori tersebut dalam menyelesaikan masalah.
Pertama, Teori sebagai alat Eksplanasi. Dalam fungsi ini teori berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan. Misalnya: tragedi 11 september yang memakan banyak korban dan kerugian secara materiil. Hal ini dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa. Gejalanya dapat kita lihat dari maraknya beberapa kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok anti Amerika. Al-Qaeda misalnya, sebuah oraganisasi rahasia yang menjadi symbol perlawanan terhadap Amerika.
Kedua, Teori sebagai alat Peramal. Dalam fungsi ini teori memberikan benuk prediksi-prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan dalan menyelesaikan suatu masalah. Misalnya: isu global warming. Digambarkan dalam kasus ini bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata disatu sisi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem alam. Prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan yang menggambakan tentang keseimbangan alam yang rusak oleh perilaku manusia itu sendiri.
Ketiga, Teori sebagai Alat pengontrol. Dalam fungsi ini ilmuwan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol terhadap masalah yang terjadi. Kita bisa melihat dari solusi yang ditawarkan oleh para ilmuwan.
C. Teori tentang Nilai
1. Kebebasan Nilai dan Keterikatan Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftn5
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
2. Jenis-jenis Nilai
Berikut adalah jenis-jenis nilai yang di kategorikan pada perubahannya:G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftn6
Jenis-jenis Nilai

Baik dan Buruk

Sarana dan Tujuan

Penampakan dan Real

Subjektif dan Objektif

Murni dan Campuran

Aktual dan Potensial
3. Hakikat Nilai
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
4. Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a. Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
b. Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c. Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.
5. Status Metafisik Nilai
a. Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b. Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.
c. Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (mis: theisme).
6. Karakteristik Nilai
a. Bersifat abstrak; merupakan kualitas
b. Inheren pada objek
c. Bipolaritas yaiatu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
d. Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai kekudusan.
III Penutup
Aksiologi membberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai
G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftnref1Jujun S Suriasumantri, filsafat ilmu, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2003). 233.
G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftnref2Nor Hasidah Abu Bakar, e Bahan Pengajaran IPK 503, (Kuala Lumpur:Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam, Unit ICT dan e Penerbitan, tt).
G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftnref3Aulia Ridwan CS, “ilmu dan mistik sebagai pseudo ilmu”, (Makalah, PPs IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 207), bb.
G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftnref4Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006). 37-41.
G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftnref5Ibid, 45.
G:\print\Aksiologi Ilmu « Man Arafa Nafsahu Faqad arafa Rabbahu.htm - _ftnref6Bahm, Archie, J., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values”, (Albuquerqe, New Mexico: World Books, 1984), 51.

PERTUMBUHAN FISIK

Written by oman on at 09.40

BAB I
Pertumbuhan fisik adalah perubahan-perubahan fisik yang terjadi dan merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Perubahan-perubahan ini meliputi: perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, muculnya ciri-ciri kelamin yang utama (primer) dan ciri kelamin kedua (sekunder).
Menurut Muss yang dikutip oleh Sarlito Wirawan (Sarlito, 1991:51) urutan perubahan-perubahan fisik adalah sebagai berikut:

Pada anak perempuan:
Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang).
Pertumbuhan payudara.
Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap dikemaluan.
Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya.
Bulu kemaluan menjadi keriting.
Menstruasi atau haid.
Tumbuh bulu-bulu ketiak.

Pada anak laki-laki:
Pertumbuhan tulang-tulang.
Testis (buah pelir) membesar.
Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap.
Awal perubahan suara.
Ejakulasi (keluarnya air mani)
Bulu kemaluan menjadi keriting.
Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya.
Tumbuh rambut-rambut halus diwajah (kumis, jenggot).
Tumbuh bulu ketiak.
Akhir perubahan suara.
Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap.
Tumbuh bulu di dada.

Penyebab perubahan pada masa remaja adalah adanya dua kelenjar yang menjadi aktif bekerja dalam sisitem endokrin. Pituitari yang terletak didasar otak mengeluarkan dua macam hormon yang diduga erat ada hubungannya dengan perubahan pada masa remaja. Kedua hormon itu adalah hormon pertumbuhan yang menyebabkan terjadinya perubahan ukuran tubuh dan hormon gonadotropik atau sering disebut hormon yang merangsang gonad – yaitu merangsang gonad agar mulai aktif bekerja. Tidak berapa lama sebelum saat remaja dimulai, kedua hormon ini sudah mulai diproduksi dan pada saat remaja semakin banyak dihasilkan. Seluruh proses ini dikendalikan oleh perubahan yang terjadi dalam kelenjar endokrin. Kelenjar ini diaktifkan oleh rangsangan yang dilakukan kelenjar hypothalamus, yaitu kelenjar yang dikenal sebagai kelenjar untuk merangsang pertumbuhan pada saat remaja dan terletak di otak.

Adapun perubahan-perubahan fisik yang penting dan yang terjadi pada masa remaja ialah:
Pertumbuhan ukuran tubuh
Perubahan proporsi tubuh
Ciri kelamin yang utama
Ciri kelamin kedua

Perubahan fisik sepanjang masa remaja meliputi dua hal, yaitu:
Percepatan Pertumbuhan
Proses kematangan seksual

BAB II
KEANEKARAGAMAN PERUBAHAN PROPORSI TUBUH

Walaupun tampak adanya keteraturan dan sebelumnya dalam hal perubahan proporsi tubuh, ternyta perubahan itu sendiri memperlihatkan keanekaragaman.
Sekalipun demikian dalam kelompok anak laki-laki dan perempuan juga terdapat perbedaan, sehingga tidak dapat dikatakan harus selalu tepat sama. Pada kelompok anak laki-laki mungkin saja ada yang memperlihatkan bentuk tubuh ektomorf atau endomorf dan sebaliknya pada anak perempuan ada yang tubuhnya berberntuk mesomorf.

Kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak, antara lain adalah:
Pengaruh keluarga
Pengaruh gizi
Gangguan emosional
Jenis kelamin
Status sosial ekonomi
Kesehatan
Pengaruh bentuk tubuh


Perubahan-perubahan fisik itu, menyebabkan kecanggunagan bagi remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya sendiri. Pertumbuhan badan yang mencolok misalnya, atau pembesaran payudara yang cepat, membuat remaja merasa tersisih dari teman-temannya. Demikian pula dalam menghadapi haid dan ”mimpi” yang pertama, anak-anak remaja itu perlu mengadakan penyesuaian tingkah laku yang tidak ada dukungan dari orang tua. Meskipun pengaruh pubertas terhadap anak-anak berbeda-beda, cara mereka melampiaskan gangguan ketidakseimbangan tampaknya sama. Beberapa bentuk pelampiasan yang dapat terlihat adalah mudah tersinggung, tidak dapat diikuti jalan pemikirannya ataupun perasaannya, ada kecendrungan menarik diri dari keluarga atau teman, lebih senang menyendiri, menentang kewenangan (misalnya orang tua dan guru).
Dalam masa remaja, perubahan yang terjadi sangat mencolok dan jelas sehingga dapat menggangu keseimbangan yang sebelumnya sudah terbentuk. Perilaku mereka mendadak menjadi sulit diduga dan seringkali agak melawan norma sosial yang berlaku. Oleh karena itu, masa ini seringkali dinamakan sebagai ”masa negatif”. Pada saat irama pertumbuhan sudah sedikit lambat dan perubahan tubuhnya telah sempurna, maka akan terjadi keseimbangan kembali.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pertumbuhan fisik adalah perubahan-perubahan fisik yang terjadi dan merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Perubahan fisik tersebut bukan saja menyangkut bertambahnya ukuran tubuh dan berubahnya proporsi tubuh, melainkan juga meliputi perubahan ciri-ciri yang terdapat pada kelamin utama dan kedua. Baik pada masa remaja laki-laki maupun wanita, perubahan fisik tersebut mengikuti urutan-urutan tertentu.

Saran
Remaja yang banyak memperhatikan kelompok sebaya perlu mendapatkan perhatian dari pada pendidik dalam proses pendidikan. Kegiatan seperti dorongan untuk belajar kelompok, pembentukan kelompok olah raga, kegiatan pramuka dan pembiasaan hidup sehat perlu dikembangkan. Di sekolah, kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler perlu diselenggarakan secara terprogram.

DAFTAR PUSTAKA

Syaifuddin Anshari, E. Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali, 1986.
Syaukani, al. Nailu-Awtar. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, Tanpa Tahun
Sabiq, Sayyid, Fiqhu al-Sunnah. Kuwait: Daaru al-Bayan, 1971.
Bukhari, al. Shanih Bukhari. Mesir: Daaru al-Sya’bi, Tanpa Tahun.
Departemen Agama. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta, 1985.

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan Rahmat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyanyang, yang telah sudi kiranya memberikan kesehatan jasmani dan rohani kepada saya selaku penulis, untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “PERTUMBUHAN FISIK” dan tidak lupa pula juga selawat seiring salam kepangkuan Nabi besar Muhammad SAW dan sahabat sekalian.
Tidak lupa pula saya haturkan terima kasih kepada teman-teman juga Dosen Pembimbing yang telah sudi kiranya memberikan inspirasi dan masukan-masukan kepada saya dalam rangka penyelesaian makalah ini.
Mungkin dalam penyelesaian makalah ini masih banyak kekurangan ataupun kejanggalan maklumlah saya masih dalam tahap belajar, disini saya memohon saran dan kritikan dari para pembaca semoga dapat menambah ilmu bagi saya dan bagi para pembaca lainnya, sekian terima kasih.

Langsa, Januari 2008
Wassalam

MUTIA ULFAH

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

Bab I PERUBUHAN FISIK 1

Bab II KEANEKARAGAMAN PERUBAHAN PROPORSI TUBUH 6

Bab III PENUTUP
Kesimpulan 16
Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

HUTANG LUAR NEGERI DAN EKONOMI RAKYAT

Written by oman on at 09.37

Apakah ada hubungan antara hutang luar negeri dengan ekonomi rakyat? Jawabannya tentu saja tidak bisa dikatakan tidak karena hutang pemerintah pada saat ini, khususnya hutang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari hutang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada pertengahan 1980-an ketika terjadi transfer negatif. Hutang pokok dan bunga yang dibayar kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari hutang yang diterima oleh pemerintah.

Hubungan hutang dengan ekonomi rakyat terlihat pada dimensi APBN sekarang ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan beban hutang yang berat, baik hutang luar negeri maupun hutang dalam negeri, merupakan simbol ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini. Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.

Pada satu sisi, hutang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk manuver. Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk hutang luar negeri. Dengan demikian, APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak, kartu mati, dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan.
Pada sisi lain, APBN sendiri merupakan instrumen kebijakan pemerintah, yang sangat penting. Tetapi sekarang instrumen tersebut sudah menjadi kartu mati, yang tidak bisa dipakai secara leluasa untuk kepentingan ekonomi masyarakat luas, termasuk kepentingan ekonomi rakyat.

KARTU MATI APBN
Rasio Hutang Indonesia terhadap pendapatannya (PDB) bukan hanya melewati batas aman sekitar 50 persen, tetapi telah melewati rekor negeri miskin dimanapun di dunia ini. Bayangkan, rasio hutang terhadap pendapatannya mencapai tidak kurang dari 120 persen. Itu berarti bahwa pendapatan seluruh penduduk selama setahun tidak cukup untuk hutang tersebut.

Setiap penduduk kini memiliki hutang luar negeri tidak kurang dari 750 sampai 800 dollar AS. Itu juga berarti bahwa setiap keluarga menanggung beban hutang sekitar 4000 dollar AS. Sementara itu, pendapatannya rata-rata hanya sekitar 600 dollar AS per kapita atau sekitar 3000 dollar AS per keluarga. Jadi, hutangnya jauh lebih banyak dari pada pendapatan rata-rata setiap penduduk selama setiap setahun.

Negara-negara Amerika Latin, yang dianggap sebagai model kelompok negara yang terjebak hutang (“debt trap”), hanya mempunyai rasio hutang terhadap PDB antara 30-40 persen. Angka ini sudah dianggap gawat dan pemerintah di negara-negara ini sudah merasa perlu melakukan langkah-langkah politik terhadap anggarannya.
Indikator hutang Indonesia pasca krisis lebih buruk dari kelompok negara Amerika Latin tersebut. Negeri ini memiliki sudah rasio hutang terhadap PDB sampai 130 persen. Tetapi pemerintah, Tim Ekonomi, Menteri Keuangan sangat merasa biasa dan tidak perlu usul pemotongan hutang (“haircut”) atau langkah-langkah lain, yang dapat meringankan rakyat. Seolah-olah tidak ada apa-apa dan kebijakan hutang dijalankan seperti masa normal. Pembayaran hutang apa adanya diajukan ke DPR dengan konsekwensi menguras anggaran dengan jumlah pengeluaran yang begitu besar.

Karenanya, pemerintah mengajukan usul kepada DPR untuk membayar cicilan pokok dan bunga hutang tidak kurang dari 70 trilyun. Sementara itu, hutang yang hendak diperoleh dari kreditor hanya 34,7 trilyun rupiah. Jadi, ada defisit atau “negatif outflow” tidak kurang dari 35 trilyun rupiah. Sementara itu, anggaran pembangunan langsung yang diharapkan dapat dinikmati masyarakat hanya 47,1 trilyun rupiah atau 14 persen saja terhadap total belanja negara. Jadi, APBN 2002 ini betul-betul habis hanya untuk bayar hutang, bayar gaji pegawai negeri yang tidak produktif, dan menambal subsidi.

Dalam kondisi sangat darurat ini, maka DPR tidak bisa lagi hanya berbicara dengan retorika anggaran berdasarkan pembukuan biasa, tetapi sudah sangat perlu berbicara dengan nurani. Apakah layak hak rakyat terhadap anggaran musnah untuk membayar hutang najis tersebut? Sekarang ini pula saatnya untuk mengukur nyali anggota dewan terhormat. Jadi, mesti dihindari kegenitan retorika teknokrat yang hampa politik, dengan mengajukan secara tegas keputusan yang berpihak pada rakyat.

Dalam rangka menyelamatkan APBN, maka pemerintah bersama DPR harus mengambil keputusan-keputusan yang penting. Keputusan tersebut perlu dilakukan berdasarkan kepentingan maayarakat luas, termasuk di dalamnya hak ekonomi rakyat.

Keputusan pertama dan utama adalah pernyataan politik secara formal bahwa anggaran sudah gawat dan telah melanggar batas-batas hak ekonomi rakyat atas anggaran yang terkuras untuk membayarnya. Hutang yang dibuat oleh regim yang korup di masa lalu tidak bisa dibayar begitu saja. Rakyat harus dibela hak-haknya untuk mendapatkan kucuran anggaran pembangunan yang layak.

Keputusan kedua adalah menetapkan pengurangan pembayaran hutang setidaknya separuh dari yang diajukan pemerintah dari hampir 70 trilyun rupiah (cicilan pokok 41,5 trilyun rupiah, cicilan bunga 27,4 trilyun rupiah) menjadi 30 trilyun rupiah. Keputusan ini diminta untuk dilanjutkan oleh pemerintah dengan diplomasi ekonomi kepada negara kreditor, dengan menyampaikan aspirasi rakyat, yang disalurkan oleh DPR.

Keputusan ketiga, meminta pemerintah (tim ekonomi) secara kreatif untuk mengurangi pembayaran hutang melalui berbagai kombinasi kebijakan (diplomasi ekonomi), yakni : a) diplomasi penjadwalan ulang dengan kreditor, b) mengusulkan skema-skema “Debt equity swap” (untuk lingkungan, program kemiskinan, kemanusiaan, dll), c) mengajukan pemotongan hutang (karena Indonesia tanpa Jakarta sudah miskin berat).

Keputusan keempat, panitia anggaran mengalokasikannya untuk keperluan-keperluan yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat. Dengan demikian, maka anggaran pembangunan langsung bisa ditingkatkan lebih besar lagi, termasuk mengurangi defisit.

Jika tim ekonomi tidak mampu, maka DPR dan partai-partai memikir ulang posisi eksekutif, yang bertanggung jawab terhadap bidang ekonomi dan fiskal ini. Sebaiknya diminta orang-orang yang berkemampuan politik dan diplomasi ekonomi yang baik, dalam rangka keberpihakkan kepada rakyat.

MEMASUNG EKONOMI RAKYAT
Peningkatan pajak sulit bermanfaat jika harus dimasukkan pada APBN yang bocor. Rasio pajak terhadap PDB juga telah meningkat, sampai 13 persen, tetapi hanya tersisa sangat sedikit untuk pembangunan langsung. Masyarakat kehilangan haknya atas anggaran publik sehigga akses terhadap program kesehatan, pendidikan, pangan dan infrastruktur sosial lainnya berkurang sangat drastis.

Peningkatan deviden BUMN untuk APBN sama saja. Sumbangan trilyunan rupiah untuk APBN terkuras untuk membayar hutang luar negeri, yang jumlahnya tidak kurang dari 70 trilyun (cicilan pokok dan bunga). Jumlah ini sudah memperhitungkan kemungkinan penjadwalan hutang. Jika angka penjadwalan diperhitungkan, maka beban hutang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun diperkirakan mencapai 100 trilyun. Belum lagi beban hutang domestik dan pengeluaran rutin lainnya, yang tidak bisa dihindari. Jadi, kunci persoalan adalah beban hutang luar negeri, yang telah melampaui batas kemampuan suatu negara untuk melayaninya. Bahkan jumlah beban pembayaran hutang tersebut telah memasung hak ekonomi masyarakat luas atas anggaran publiknya.

Pemerintah telah bermain-main dengan nasib rakyat, yang mutlak mempunyai hak terhadap anggaran publik tersebut. Tetapi praktek kebijakan publik dan implementasi anggaran dari regim yang korup telah menghilangkan kesempatan tersebut. Tim ekonomi hanya mempunyai visi teknis fiskal belaka, bahwa hutang itu merupakan kewajiban negara untuk membayarnya. Padahal, kerugian paling besar terbebankan kepada masyarakat luas.

Tidak ada sama sekali visi ekonomi politik dari tim ekonomi pemerintah untuk membela kepentingan masyarakat luas, dengan cara membebaskan sebagian beban hutang, yang merupakan produk dari praktek kebijakan yang disortif dan praktek korupsi yang meluas pada masa regim yang lalu. Korupsi di sini termasuk birokrat asing, yang juga sangat menikmati keuntungan super normal dari proyek-proyek hutang luar negeri, yang biasa di-“mark up”. Usaha diplomasi untuk membagi beban resiko di masa lalu tidak dilakukan sehingga resiko kesalahan rancangan hutang dan kesalahan prakteknya di lapangan hanya dibebankan kepada pihak Indonesia.

DPR nampaknya juga bermain-main dengan anggaran publik ini karena tidak memiliki konsep yang matang untuk membebaskan APBN 2002 dari beban hutang, yang mencekik leher. Bahkan pembicaraan tentang APBN di DPR pada pertengahan Oktober tahun yang menjadi “deadlock” dan hanya menghasilkan skema penjadwalan hutang, yang tidak memberi ruang cukup bagi APBN untuk berfungsi sebagai instrumen kebijakan yang positif.

Itu juga berarti bahwa partai, yang berkuasa, juga mempertaruhkan nasib politiknya pada teknokrat, yang hampa politik. Negara dan masyarakat mempunyai hak untuk tidak membayar sebagian hutang yang najis, penyimpangan yang dilakukan dalam keputusan kebijakan dan implementasinya di lapangan. Tetapi pembelaan atas kesalahan kebijakan publik ini tidak nyata sehingga pembahasan berjalan apa adanya.

Pendekatan para teknokrat hanya bersifat teknis fiskal belaka, dengan akibat yang mesti ditanggung oleh masyarakat luas. Padahal masalahnya adalah “political economy”, yang harus dijalankan dengan tindakan politik, diplomasi ekonomi, dan bahkan tindakan kolektif dari “stake holders”, yang berkepentingan terhadap APBN.

Jika transaksi hutang individu perusahaan, maka kewajiban pihak yang melakukan transaksi membayarnya. Transaksi hutang individu ini berbeda dengan transaksi hutang publik dimana pihak yang tidak memutuskan ikut menanggung resiko dan beban atas kesalahan pengambilan keputusan tersebut. Karena itu, syarat adanya transaksi pada domain publik adalah transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi.

Hutang luar negeri adalah keputusan politik, yang berada pada domain publik. Ini berbeda dengan transaksi individu atau pertukaran swasta. Pada kebijakan publik prasyarat-prasyarat keterbukaan, transparansi, demokrasi dan tahapan yang baik merupakan bagian dari elemen yang penting. Jika prasyarat itu tidak ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan publik. Hutang luar negeri juga merupakan keputusan publik, yang prasyarat-prasyaratnya sangat tidak memenuhi standar, tetapi dijalankan dengan pola pemerintahan yang tertutup dan otoriter.

Potensi untuk memperbaiki mekanisme kebijakan publik tersebut mati karena sifat pemerintahan, yang sangat represif. Akibatnya, ribuan proyek yang berjalan dengan anggaran dari hutang luar negeri sangat penuh dengan praktek korupsi, “mark up”, dan perburuan rente. Proyek-proyek menjadi tidak efisien dan negara menanggungnya dengan beban pembayaran yang mahal dan mencekik tadi.

Transaksi publik yang menyimpang dan dinodai praktek korupsi pemerintah dan birokrasi dapat dituntut untuk tidak dibayar begitu saja. Dalam kasus hutang luar negeri, praktek korupsi juga dilakukan oleh birokrat asing dan perusahaan pelaksananya. Publik dan masyarakat luas memiliki hak untuk melindungi anggarannya dari praktek seperti itu. Visi seperti ini yang tidak dimiliki pemerintah dan DPR, yang tengah membahas APBN 2002.

Jika itu dilakukan, maka pemerintah ini tidak jauh berbeda dengan Orde Baru, yang mempermainkan hak rakyat atas anggaran. Resikonya, ekonomi masyarakat, program kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur sosial, dan pembangunan lainnya tidak bisa dijalankan.

Anggaran dikuras untuk membayar hutang luar negeri tidak kurang dari 69 trilyun rupiah. sedangkan hutang yang diterima hanya sekitar 34 trilyun rupiah. keadaan “negative outflow” seperti ini telah terjadi sejak 1986, tetapi dibiarkan semakin memburuk.

Pertanyaannya, mengapa ada hak rakyat atas anggaran tersebut tidak dipertimbangkan? Mengapa hanya hak kreditor saja uang dihitung? Jawabnya terletak pada visi pemerintah dan teknokrat pengambil keputusan tidak menimbang hak ekonomi politik rakyat atas anggaran tersebut. Kelopmok ini memang hampa politik.

PENUTUP
Demikianlah, pembahasan masalah hutang luar bluar negeri ini dilakukan dengan mengaitkan dimensi hutang yang sudah menjadi jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran publik dan ekonomi rakyat yang lebih luas. Hutang yang besar telah menjadi beban anggaran, yang pada gilirannya menjadi beban publik, termasuk di dalamnya adalah ekonomi rakyat.

TENTANG MASALAH KEPENDUDUKAN

Written by oman on at 09.35

Selama ini, masalah kependudukan boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat. Baik itu dari para politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak berkeberatan lagi dengan program untuk mengon¬trol kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya. Dianggap sebagai hal yang tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenar¬nya masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting. Tidak kalah pentingnya dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali kita perdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi. Dan sebenarnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum dan norma agama. Jadi, memang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sebenarnya, masalah kependudukan ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang program KB. Kalau pun sudah ada yang menyetujui¬nya, umumnya mereka masih enggan melaksanakannya. Pada zaman Orde Lama, dari pihak pemerintah pun tidak ada kesadaran akan masalah ini. Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan seandainya pada saat itu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya tidak perlu penduduk Indonesia meledak seperti sekarang ini.
Hingga saat ini memang masih banyak orang yang menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh Malthus sudah tidak berlaku lagi karena adanya berbagai macam kemajuan pada bidang pertanian yang bisa melipatgandakan jumlah makanan. Tetapi, mereka nam¬paknya melupakan bahwa kemajuan teknologi bukanlah hanya pada bidang pertanian, tetapi juga pada bidang kesehatan dan kedokteran. Jadi, tingkat kematian menurun dengan cukup drastis sedangkan tingkat kelahiran tetap bertambah menurut primitif rate. Maka semakin sesaklah bumi kita ini dan semakin sulitlah memenuhi kebutuhan pangan karena tingkat pertumbuhan penduduk dunia yang sekitar 1,2 persen per tahun sedangkan lahan pertanian hanya bertambah 0.8 persen saja. Jumlah lahan ini pun semakin hari semakin berkurang saja karena semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan. Apalagi, kita memang tak akan pernah bisa menciptakan teknologi yang bisa meningkatkan luas tanah di planet bumi. Jadi, hanya bila suatu saat kita memang telah bisa mendirikan koloni di planet Mars atau galaksi yang lain dan bisa pergi ke sana dengan ongkos setara naik kereta Purbaya barangkali kita tak perlu susah payah mengatasi masalah kependudukan ini.
Jadi, prediksi Malthus, atau lengkapnya Thomas Robert Malthus (1766-1834), dalam hal ini memang bisa dikatakan cukup tepat dan tetap berlaku hingga saat ini. Dan teori Malthus tentang kependudukan yang ditulis dalam esainya yang berjudul Essay on the Principle of Population ini juga sebenarnya yang turut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk meyakinkan Darwin tentang terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi mahluk hidup. Malthus menyata¬kan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9, 16, ... dst.) sedangkan jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret aritmetika (1, 2, 3, 4, ... dst.). Hal ini tentu pada akhirnya akan menim¬bulkan persaingan mati-matian antar Homo sapiens untuk memperebutkan sumber makanan karena berlebihnya jumlah penduduk. Memang pada saat ini tidak perlu sampai ada pertempuran antar negara untuk memperebutkan sumber makanan seperti yang terjadi pada suku-suku primitif, tetapi persaingan antar individu untuk mempere¬butkan sumber makanan (atau dalam hal ini cara untuk mencari makan alias pekerjaan) dalam skala yang sangat... sangat besar ternyata juga tak kalah buruk akibatnya karena tempat yang tersedia makin hari makin terbatas jumlahnya. Dalam masyarakat industri setiap orang memang tak lagi mencari makan secara langsung dengan cara pergi ke sawah. Akibatnya, mereka yang tidak mendapatkan tempat yang layak terpaksa mencari yang kurang layak, yang tidak mendapatkan yang kurang layak terpaksa mencari yang tidak layak. Dan dari hari ke hari mereka ini semakin besar saja jumlahnya. Ini tentu pada akhirnya menimbulkan berbagai macam masalah sosial yang susah dibenahi.
Pada zaman Orde Baru, masalah kependudukan ini memang sudah mulai dibenahi. Keluarga Berencana dianjurkan di mana-mana dan di banyak tempat mendapat sukses. Tetapi, karena masih sangat kurangnya kesadaran dari masyarakat dan kurang intensifnya usaha dari pemerintah, maka di banyak tempat pula usaha ini mengalami kegagalan. Jumlah penduduk masih terus bertambah dengan sangat pesatnya. Bila pada awal Orde Baru masih berjumlah sekitar 100 juta jiwa, maka pada akhir Orde Baru sudah berjumlah lebih dari 200 juta. Berlipat dua kali hanya dalam waktu 30 tahun saja! Suatu kecepatan pertumbuhan yang sulit dicari bandingannya sepanjang sejarah umat manusia. Apakah kita ini sebenarnya ber-evolusi dari kelinci?
Hal ini tentu pada akhirnya mengakibatkan tekanan-tekanan yang luar biasa kepada lingkungan hidup yang merupakan sumber dari kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di planet bumi ini. Dan patut pula diperhatikan bahwa dalam 30 tahun terakhir ini, jumlah produk pertanian telah meningkat hingga dua kali lipat, tetapi di banyak negara jumlah tersebut tetap tidak mencukupi.
Oleh karena itu, pada masa sekarang dan juga masa mendatang masalah kependudukan ini haruslah benar-benar bisa mendapat perhatian. Ini adalah masalah yang benar-benar sangat serius. Dan pada saat ini rasanya program KB ini sudah saatnya tidak lagi hanya sekedar dianjurkan, tetapi diwajibkan! Seperti di Cina misalnya, terlebih lagi di pulau-pulau yang sudah sangat padat penduduknya seperti Jawa, Madura dan Bali. Tetapi, tentu saja caranya harus lebih baik dengan yang ada di Cina, yaitu dengan cara terlebih dahulu memberikan pengertian-pengertian tentang pentingnya masalah ini. Bila pun tidak satu anak, bisa tetap dua saja, yang penting harus diwajibkan.
Untuk mengatasi masalah ini memang tidak cukup hanya dari pihak pemerintah saja yang mengurusinya. Semua pihak yang menyadari pentingnya masalah ini haruslah turut serta membantu membenahi masalah ini, baik itu dari generasi tua yang sudah terlanjur tidak melaksanakannya. Mereka harus¬lah turut serta berperanan dalam masalah ini, paling tidak dengan cara menyadarkan generasi muda, anak-anak mereka akan pentingnya masalah ini. Dan tulisan ini memang teru¬tama ditujukan kepada generasi muda sebab rasanya kita memang lebih baik menyadarkan yang belum terlanjur sebab kalau yang sudah terlanjur tidak bisa diapa-apakan lagi. Apalagi, hingga saat ini pada kalangan muda pun nampaknya kesadaran akan masalah kependudukan ini memang masih sangat rendah juga. Tak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Kita seringkali menemui seorang muda yang bila ditanya ingin punya anak berapa kelak, maka biasanya ia akan menjawab, "Terserahlah berapa Tuhan mau memberi, diberi berapa saja tidak apa-apa sebab itu adalah amanah." Bila memang demikian, kalau misalkan si perempuan menikah pada umur duapuluh tahun dan punya anak setiap satu atau dua tahun, maka Tuhan akan memberi dan "mengamanahkan" kepadanya minimal sepuluh orang anak. Maka, akan semakin sesak dan kusutlah bumi milik Tuhan ini. Dan itu nampaknya memang sudah menjadi “amanah” dari bumi kita ini.
Islam dan Masalah Kependudukan
Pada masa ini, memang masih ada di antara umat Islam yang menentang program kontrol kelahiran ini, baik itu dari kalangan tradisional maupun dari kalangan modern sekali pun. Atau kalau pun sudah ada yang setuju, maka mereka masih enggan melaksanakannya. Oleh karena itu, mudah-mudahan penjelasan ini nanti akan bisa membuat mereka yang masih belum setuju ini akan segera menyadari betapa pentingnya masalah kependudukan ini dan segera membenahi kembali pemahaman mereka.
Di dalam menentang program kependudukan ini, yang seringkali dijadikan landasan antara lain adalah adanya hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad di akhirat kelak akan berbangga-bangga dengan para nabi yang lainnya tentang banyaknya jumlah umat mereka. Sebenarnya, tujuan dari hadits ini adalah dimaksudkan supaya umat Islam bisa menjadi kuat. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan dari hadits tersebut. Apalagi pada masa awal kelahirannya, umat Islam masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk menyebarkan agamanya. Dan ini tentunya membutuhkan tenaga yang banyak juga. Tetapi, pada masa sekarang, di mana agama Islam sudah tersebar cukup luas, maka jumlah yang terlalu banyak malah bisa berbalik membuat lemah umat Islam sendiri. Jumlah yang terlalu banyak berarti semakin sulitnya orang mencari makan, semakin banyak orang miskin, anak putus sekolah dan pengangguran. Dan itu berarti kelemahan.
Bila pun masih ada yang berpendapat bahwa jumlah yang banyak pada saat ini bisa menjadi kekuatan, maka kita bisa mengingat bagaimana pada masa sebelum kemerdekaan, jumlah bangsa Indonesia yang 60 juta ini takluk kepada negeri liliput Belanda. Dan itu tidak perlu semua orang Belanda menyerbu ke sini. Jumlah orang Belanda di Indonesia saat itu hanya sekitar 50 ribu orang saja, itu pun sudah terma¬suk kaum indonya. Ini berarti 1:1.200. Jadi, orang-orang Belanda itu, karena keunggulan kualitasnya, mereka malah bisa menjadi lebih hebat dari Prabu Arjuna Sastrabahu yang sedang bertriwikrama. Atau kalau contoh yang lebih up to date lagi, kita bisa pula melihat bagaimana etnis Cina yang jumlahnya hanya beberapa gelintir saja bisa menguasai perekonomian Indonesia karena teknik berda¬gang mereka yang lebih maju.
Lalu, bila kita kembali kepada hadits di atas, apakah Nabi Muhammad akan bangga dengan umatnya yang berjumlah 60 juta itu? Jawabannya pasti adalah tidak. Nabi Muhammad pastilah tidak akan bangga dengan jumlah umatnya yang banyak tetapi tidak berkualitas itu. Kalah dengan mereka yang jumlahnya hanya 50 ribu. Dan hal itu tidaklah hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya pada masa itu. Sampai sekarang pun kita bisa melihat bagaimana bangsa Arab yang berjumlah lebih dari 200 juta itu tak berdaya menghadapi Israel yang penduduknya hanya sekitar 6 juta jiwa. Jadi, pada masa sekarang ini yang menentukan kekuatan terutama memang bukanlah kuantitas, tetapi kualitas. Oleh karena itu, yang perlu ditingkatkan pada masa ini tentunya juga adalah kualitas, bukan kuantitas. Sudah terlalu banyak kuantitas¬nya, bahkan sudah amat sangat berlebihan
Kependudukan dan Problem Sosial
Dengan semakin banyaknya penduduk, maka hal ini menyebabkan tidak tersedianya ruang yang cukup bagi semua orang untuk menyambung hidup. Di desa tanah pertanian semakin menyempit karena harus dibagi-bagi dengan saudara yang selalu bertambah jumlahnya. Dan akhirnya, ketika sampai kepada generasi yang kesekian, ketika tanah sudah tak lagi mencukupi, orang di desa pun pergi ke kota. Di kota mereka pun harus bersaing dengan penduduk asli kota tersebut maupun orang dari berbagai wilayah lain yang juga berjubel banyaknya. Jadi, semakin berjubel-jubel.
Bila pun masih ada yang berkeberatan terhadap penda¬pat di atas, maka ilustrasi berikut mungkin akan bisa membantu. Kita misalkan saja ada sebuah keluarga yang mempunyai sepuluh hektar sawah. Dan ini termasuk luas, kita bisa menyebutnya sebagai petani kaya. Tetapi, karena keluarga tersebut mempunyai sepuluh orang anak, maka ketika kedua orang tuanya meninggal masing-masing anak hanya akan mendapatkan warisan satu hektar sawah. Apabila kesepuluh orang tersebut kemudian rata-rata mem¬punyai enam orang anak, maka sawah yang hanya tinggal satu hektar itu pun harus dibagi lagi menjadi seperenam hektar. Ini tentunya jelas sangat tidak mencukupi. Kini, cucu petani kaya tersebut telah berubah menjadi petani melarat.
Pada akhirnya, ketika tanah di desa telah habis untuk dibagi-bagi dan semua orang desa berlarian pergi ke kota untuk menyambung hidup, maka hukum pasar pun berlaku pula di sini bahwa semakin banyak barang (atau dalam hal ini tenaga kerja), maka semakin murah pula harganya. Upah pekerja bisa ditekan semurah mungkin karena semakin membe¬ludaknya jumlah angkatan kerja sementara kesempatan yang tersedia amatlah terbatas sebab pertumbuhan kesempatan kerja memang tidaklah bisa secepat pertumbuhan angkatan kerja. Atau bila kita di sini mengambil rumus Malthus, maka jumlah angkatan kerja bertambah sejalan dengan deret ukur sementara kesempatan kerja hanyalah sejalan dengan deret hitung.
Akan tetapi, karena keseimbangan itu hanya akan bisa tercapai dalam jangka waktu yang cukup lama sementara tuntutan kehidupan sehari-hari tentunya dibutuhkan pada saat ini juga, maka nampaknya pemerintah haruslah mengusa¬hakan agar upah pekerja yang rendah ini bisa diperbaiki. Selain itu, nampaknya kita juga mesti membenahi satu hal yang lain lagi sebab nampaknya ada hubungannya juga dengan upah pekerja yang rendah. Dalam pelajaran ilmu ekonomi yang mesti dihapal di tiap sekolah hingga saat ini, kita selalu diajarkan suatu dogma bahwa seorang pelaku ekonomi mestilah dengan modal sekecil-kecilnya bisa mendapat untung sebesar-besarnya. Tak disebutkan lebih lanjut di situ dengan cara yang bagaimana. Tak disebutkan bahwa kita mestilah tetap memperhatikan etika. Kita seharusnya sudah menambah atau merevisi dogma itu dengan semestinya. Dan dogma semacam ini juga yang antara lain menyebabkan berba¬gai macam kejahatan dalam dunia usaha karena menyebabkan orang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan.
Walau pun para pekerja di Indonesia memang tak bisa digaji terlalu tinggi sebagaimana rekannya di berbagai negara maju dan mungkin perusahaan-perusahaan di sini memang tak bisa membayar sebesar itu, tetapi gaji tersebut seharusnya cukup bila hanya sekedar untuk membeli makanan yang bergizi, beli rumah yang memenuhi standar kesehatan, beli alat transportasi yang baik dan memadai (sepeda motor paling tidak), cukup untuk biaya pendidikan, bisa untuk beli majalah, koran atau buku, bisa untuk pergi ke dokter, bisa untuk rekreasi, dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari lainnya secara memadai tanpa harus perlu mengkredit atau berhutang kanan kiri yang seringkali harus menghabiskan setengah atau malah sebagian besar dari penghasilan per bulan dari kebanyakan masyarakat kita. Dan ini tentunya mengurangi tingkat kesejahteraan mereka.
Walaupun suatu saat nanti memang jumlah pekerja dan kesempatan kerja tidak bisa mencapai titik yang betul-betul seimbang, maka bila ada kurang lebihnya tidaklah terlalu menyolok. Karena pada saat ini jumlahnya memang sangat tidak berimbang, maka hal ini tentu membuat sulit pula untuk meningkatkan upah kaum pekerja. "Harga jual" mereka menjadi sangat rendah. Upah yang rendah ini pun pada akhirnya akan menimbulkan efek yang berantai pula. Dengan gaji yang rendah, maka para pekerja tersebut tidak akan mampu menyekolahkan anaknya dan memberi makan dengan gizi yang memenuhi syarat. Baik makanan yang bisa menunjang kesehatan tubuh maupun pertumbuhan otak. Berarti tidak akan ada peningkatan kecerdasan dari generasi bapaknya, malah bisa jadi akan semakin menurun. Selanjutnya, dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka kesadaran mereka akan masalah kependudu¬kan ini pun akan menjadi semakin rendah pula. Dengan demikian, jumlah penduduk akan semakin bertambah, upah pekerja pun akan semakin sulit ditingkatkan, angka kemis¬kinan dan tingkat pendidikan pun akan semakin susah pula dibenahi. Bagaikan sebuah lingkaran setan.
Selanjutnya, patutlah kita sadari bahwa luas tanah yang ada sangatlah terbatas. Kita misalkan saja bahwa di pulau Jawa penduduknya 100 juta jiwa. Kemudian kita misal¬kan bahwa di Jawa maksimal dibangun lima ribu pabrik atau perusahaan. Sekali lagi, ini jumlah maksimal, kecuali kalau diadakan penggusuran sawah atau perumahan penduduk. Lalu masing-masing perusahaan kita misalkan saja rata-rata mampu menampung lima ribu pegawai. Dan ini jumlah yang termasuk ideal bila kita misalkan setiap orang pekerja menghidupi rata-rata tiga orang anggota keluarga lainnya. Tetapi, bila jumlah ini terus-menerus bertambah tanpa henti, katakanlah hingga mencapai 200 juta jiwa (hanya di Jawa saja) dalam beberapa tahun mendatang, dan ini bukanlah jumlah yang mustahil mengingat kecepatan pertumbuhan selama ini, maka jumlah yang ideal itu akan menjadi tidak ideal lagi. Jumlah perusahaan tidak mungkin akan bisa bertambah karena lahan sudah tidak tersedia lagi. Terlebih lagi, semakin banyak areal persawahan yang telah berubah menjadi pemukiman penduduk. Dan kita memang tak akan pernah bisa menambah luas tanah yang ada, kecuali bila kita bisa mengeringkan Laut Kidul. Dan bertambahnya jumlah penduduk ini memang mau tidak mau akan menggusur areal persawahan menja¬di perumahan seperti yang bisa kita saksikan saat ini di mana-mana. Lalu, mau makan apa kita nanti? Dan bila suatu saat tanah telah habis semuanya kita mau pergi ke mana? Mendirikan rumah susun barangkali. Tetapi, apakah lingkungan semacam ini cukup sehat bagi perkembangan anak-anak? Lapangan untuk bermain sepakbola, bermain layang-layang, bermain gundu, voli dan badminton telah habis di mana-mana. Atau barangkali ada yang mengusulkan bertransmigrasi. Tetapi, bagaimana bila hutan di Sumatra Kalimantan dan berbagai tempat lain pun telah habis dibuat perumahan? Terlebih lagi, berapa persen dari kita yang mau pergi transmigrasi dengan sukarela? Terutama lagi bagi penduduk perkotaan atau setengah perkotaan yang telah terbiasa dengan keramaian dan fasilitas umum yang mudah terjangkau?
Karena di dalam negeri sudah tidak ada lagi pekerjaan yang tersedia dan juga sudah tidak ada lagi sawah yang bisa digarap, maka banyak di antaranya yang lalu merantau ke luar negeri. Dan kita tentu tahu bahwa hal ini sering¬kali menimbulkan masalah, terutama bagi kaum wanitanya. Bahkan, seringkali terjadi peristiwa yang menyedihkan menimpa mereka. Sementara itu, bagi mereka yang tidak tertampung di dalam negeri atau tidak punya biaya untuk pergi ke luar negeri, maka mereka terpaksa menjadi pen¬ganggur, setengah menganggur atau tukang tidur. Padahal, sebagian besar di antara mereka adalah termasuk dalam usia produktif. Dan dari tahun ke tahun kaum pen¬gangguran ini semakin banyak saja jumlahnya karena pertum¬buhan angkatan kerja selalu melebihi jumlah kesempatan kerja. Jadi, semakin lama semakin bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk-tumpuk….
Setiba pada bagian ini, walaupun mungkin saatnya kurang tepat, saya tiba-tiba merasa ingin sedikit bernos¬talgia sebab ketika sampai pada bagian ini saya memang menjadi teringat lagu Balada Sejuta Wajah yang pernah dibawakan oleh grup God Bless semasa tahun delapanpuluhan. Sebuah lagu yang menjadi favorit seorang teman saya ketika masih di sekolah menengah dulu. Lagu yang berkisah tentang kaum urban, keriuhan di kota-kota besar dan kaum semut yang terhimpit di tengahnya. Teman saya yang satu ini memang sangat suka dengan lagu tersebut dan kerap meminta saya untuk membawa¬kannya secara unplugged, meski dengan petikan gitar ala kadarnya sebab saya memang tidaklah selihai Ian Antono.
Dan sekarang ini, ketika sesekali saya mampir ke seorang teman yang kebetulan punya sedikit “bisnis” di salah satu sudut trotoar di kota budaya ini dan terkadang menemaninya nongkrong hingga malam hari, saya menjadi teringat isi lirik dari lagu tersebut. Dan rekan seperjuangan teman saya ini, yang dulu jumlahnya tak seberapa, kini semakin banyak saja, saling berdesak di kiri-kanan dan depannya. (Semoga suatu saat tidak sampai berdesak di atas dan bawahnya). Banyak pula di antara mereka yang berasal dari luar kota. Dan bagi orang yang nglemer seperti saya ini, sewaktu musim hujan begini saya sering merasa kagum dengan ketangkasan dan kecepatan mereka dalam berkemas ketika langit mulai turun hujan. Hanya dalam hitungan detik saja mereka telah bisa mengemasi semuanya. Mungkin mereka lebih tangkas dari suku-suku nomad di Mongolia.
Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, ketika ia mulai "mengawali karirnya", dua buah rambu yang menyatakan bahwa di sekitar tempat itu dilarang berjualan masih terpasang dengan manis dan rapinya, dengan cat dasar merah yang menyolok mata. Tetapi, sekarang sudah mulai meluntur dan tak jelas lagi. Mungkin yang berwenang sudah malas mengecatnya lagi karena sudah capek mengatasi ke¬bandelan mereka. Ia sering bercerita tentang hal itu. Ia pun dulu kerap pula terkena gusuran meski sekarang memang tak pernah ada lagi.
Ia dulu telah sempat berkelana ke mana-mana, ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, untuk mendapatkan kerja yang sepantasnya. Tetapi, ternyata ia sekali lagi hanya membuktikan bahwa hukum pasar dalam tenaga kerja memang benar adanya. Kerja suntuk seharian dengan upah ala kadarnya. Ia pun akhirnya lebih memilih untuk mengabdi di kaki lima yang menurutnya lebih bebas dan "menjanjikan". Tetapi, penghasilannya kadang ternyata memang lebih baik bila dibandingkan dengan standar UMR. Hanya saja memang tak selalu demikian. Ada kalanya ia pulang larut malam hanya dengan membawa tubuh yang basah kuyup kehujanan.
Oh ya, dari teman tersebut saya juga lalu mengeta¬hui arti dari kata kaki lima. Suatu kata yang bagi saya sebelumnya terasa aneh dan menimbulkan tanda tanya. Ternyata, ini bukanlah karena mereka tergolong spesies mahluk berkaki dua yang mengalami mutasi genetika, tetapi itu adalah singkatan dari "kanan kiri lintas manusia". Demikian jelas teman tersebut. Entah benar entah tidak.
Saya dulu biasa memainkan lagu Sejuta Wajah tersebut dengan nada gembira, nada anak-anak remaja. Tetapi, seka¬rang saya tahu bahwa seharusnya saya dulu memainkannya dengan nada yang sebaliknya. Dan bunyi lagu itu pun seka¬rang terasa nyata dan bukan lagi hanya berupa nada-nada. Apalagi, ternyata jumlah mereka bukanlah hanya sejuta dan mereka pun ternyata bukan hanya berada di kali lima, tetapi ada di mana-mana.
Meski demikian, ia nampaknya menikmati kehidupannya. Sepenilaian saya, ia merasa bebas dan bahagia. Dan bukankah itu sebenar¬nya yang dicari oleh setiap manusia? Ia bilang bisa berangkat kapan saja ia mau dan kapan saja ia tidak mau. Meski demikian, ia berangkat setiap hari. Bahkan pada hari Minggu dan tanggal merah sekali pun, sebab pada saat seperti itulah justru ramai pembeli. Ia juga sudah merasa at home di sana. Dan bila malam sedang cerah, saya sendiri pun terkadang merasa ayem juga ketika sedang ikut duduk selonjoran di sana sambil menikmati minuman atau makanan kecil yang dibelinya dari sebuah warung angkringan terdekat bila saya sedang mampir ke sana. Sekali-sekali, bila sedang banyak rezeki, ia juga mentraktir saya mie ayam yang kebetulan lewat di jalan. Ia orangnya cukup murah hati memang. Tetapi, sekarang ini saya memang sudah sangat jarang sekali ke sana karena semakin riuhnya jumlah mereka sehingga tidak bisa enjoy lagi.
Meski demikian, biarpun ia merasa bebas dan bahagia, entahlah, bagaimana ia kelak di kemudian hari. Toh, seperti yang saya rasakan walaupun mungkin sudah tak terkatakan lagi olehnya, ia juga sebenarnya ingin mendapat pekerjaan yang selayaknya. Dan penghasilan yang secukupnya juga. Dan tentunya juga istirahat dan hari libur yang secukupnya pula.
Adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang menghiba? Demikian bunyi lirik penutup dari lagu tersebut.
Entahlah, sebab meskipun sekarang ini program untuk mengontrol penduduk tak dimusuhi dan malah dianjurkan, pada umumnya orang memang bersikap acuh tak acuh terhadap masalah ini. Sikap seperti ini memang merata di setiap negara berkembang. Sikap yang aneh memang, orang mengantuk tetapi menolak ketika disorongkan kasur springbed. Suatu sikap yang sebenarnya bertentangan dengan bunyi peribahasa. (Oh ya, bunyi peribahasa tadi sudah sedikit saya “perbaiki”). Dan orang nampaknya lebih suka untuk memenuhi dunia yang sema¬kin sempit ini dengan segala kesumpekan dan kekusutannya.
Tetapi, sekian dulu bernostalgianya dan kita kembali lagi meneruskan pembahasan. Dan mudah-mudahan kita masih tetap bisa bersikap optimis. Mudah-mudahan, sebab walaupun mungkin ada beberapa bagian dari kalimat di sini yang bernada gurauan, sebenarnya saya ingin menulisnya dengan kalimat-kalimat yang muram. Muram karena menyaksikan segala kemuraman yang ada di depan mata. Tetapi, agaknya saya memang tak bisa menulis kalimat sedemikian. Meski demikian, semuram apa pun keadaannya, agaknya kita memang tetap harus selalu bersikap optimis. Bila tidak, maka tak akan ada lagi harapan
Jumlah kaum pengangguran yang semakin melimpah ruah ini pun pada akhirnya menimbulkan banyak masalah juga karena orang yang tidak bekerja bukan berarti mereka lalu tidak makan. Mereka tetap makan juga dan banyak di antaranya yang kemudian terpaksa melakukan apa saja untuk menyambung hidupnya. Bila sebagian di antara mereka masih bersedia untuk menyambung hidup secara halal, maka ternyata banyak juga di antaranya yang kemudian terpaksa harus dengan cara melanggar hukum dan norma agama sebab kebutuhan perut memang tak dapat ditunda sehari pun. Bila kaum prianya banyak yang terjerumus melakukan kejahatan, maka kaum wanitanya banyak yang terperosok ke dalam prostitusi. Dan rasanya, tidak ada seorang pun yang bercita-cita untuk menjadi penjahat semasa kecilnya. Juga menurut sebuah penelitian, 95 persen wanita tuna susila sebenarnya juga ingin melakukan pekerjaan yang lain.[1] Yang halal, yang terhormat, yang baik-baik. Kalau ada. Yah, memang mana ada wanita yang semasa kecilnya pernah bercita-cita untuk menjadi pelacur.[2] Cobalah tanya anak-anak kecil di kam¬pung Anda apa cita-cita mereka ketika dewasa kelak. Apakah ada yang bercita-cita untuk menjadi pelacur?
Karena itu, kita memang tidak bisa memberantas keja¬hatan, tidak bisa memberantas pelacuran, bila rakyat kita masih didera kemiskinan. Tidak bisa hanya dengan menembaki setiap penjahat karena mereka akan tumbuh lagi. Tidak bisa hanya dengan beramai-ramai membakari kompleks prostitusi karena mereka akan mencari tempat yang lain lagi. Bukan pekerjaan yang lain karena memang tidak ada. Apa yang harus kita lakukan memang adalah memberantas penyebabnya, yaitu memberantas kemiskinan dan pengangguran. Dan salah satu cara memberantas kemiskinan dan pen¬gangguran ini adalah dengan kontrol kelahiran sebab dengan kontrol kelahiran kita akan bisa dengan lebih mudah men¬gatasi kemiskinan karena akan terdapat ruang yang cukup bagi semua orang untuk mencari makan. Dengan itu pula kita akan bisa dengan lebih mudah mengatasi pengangguran karena kita memang akan bisa lebih mudah pula mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja senantiasa sesuai dengan lapan¬gan kerja yang tersedia. Bisa mengupayakan agar setiap orang bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak sehingga ia tidak akan mudah tergoda untuk melaku¬kan hal-hal yang melanggar hukum maupun norma agama. Dengan tersedianya pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi setiap orang, maka dengan demikian kita telah bisa memberantas kejahatan tanpa harus menembaki setiap penja¬hat. Bisa membasmi pelacuran tanpa harus membakar setiap kompleks prostitusi.
Kita juga tidak lagi akan diresahkan oleh ulah para pemuda pengangguran yang nongkrong di sudut-sudut jalan sambil bermabuk-mabukan. Mengompas orang yang kebetulan lewat. Juga tak perlu lagi diresahkan oleh ulah "pak ogah" atau anak-anak jalanan yang sekedar mencari uang logam di setiap perempatan jalan. Mereka semua tidak akan ada bila mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan peng¬hasilan yang layak. Mereka akan hidup tenang tentram di rumah bersama keluarganya, bersama istri dan anak-anaknya, bersama saudara dan keluarganya tanpa harus mencari mangsa atau menggangu orang lain di jalan-jalan.
Jadi, hal utama yang harus kita lakukan memang adalah meniadakan kondisi lingkungan yang bisa menyebabkan terja¬dinya pelanggaran hukum dan norma agama tersebut. Tetapi, apa boleh buat, selama hal itu belum tercapai hukum yang tegas tetaplah harus dijalankan karena masyarakat pun haruslah bisa dijamin keamanannya. Akan tetapi, bila kita memang benar-benar mau memikirkan dan berupaya mengatasi masalah kependudukan dengan serius, maka secara perlahan-lahan angka kejahatan dan juga berbagai macam problem sosial lainnya akan bisa ditekan seminimal mungkin. Dan akan bersihlah bumi Indonesia ini dari pelacuran, kejaha¬tan, kemiskinan dan pengangguran. Akan terciptalah negeri yang tata tentrem kerta raharja gemah ripah loh jinawi.
Oleh karena itu, sekali lagi, kita memang harus berupaya memikirkan dan mengatasi masalah kependudukan ini dengan sebaik-baiknya. Tanpa itu, jangan harap kesejahte¬raan dan kemakmuran akan bisa terwujud meskipun pemerinta¬han yang ada adalah pemerintahan yang benar-benar demokra¬tis dan jujur sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan semakin sulit pula bagi kita untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran serta berbagai macam problem sosial lainnya. Kita bisa melihat bahwa dengan jumlah penduduk yang "hanya" 200 juta saja sudah banyak orang yang keleleran, apalagi bila jumlah itu terus-menerus bertambah tanpa henti seperti yang terjadi selama ini. Akan semakin banyak orang miskin, semakin sempit tanah yang ada, semakin mahal harga rumah, semakin sulit dan mahal pula tanah kuburan (betapa malangnya nasib anak cucu kita nanti, apakah mesti kita larung saja mayat mereka di Laut Kidul?), juga akan semakin banyak kampung kumuh, semakin banyak pengemis dan kaum jembel, semakin sulit cari kerja, semakin banyak pengangguran, semakin banyak kejahatan, semakin banyak “pak ogah”, semakin banyak anak jalanan, semakin marak prostitusi, semakin membanjir arus urbanisasi dan ke luar negeri, semakin sempit trotoar karena diserobot kaki lima, semakin macet jalan-jalan, semakin sulit cari tempat parkir, semakin bertimbun asap polusi, semakin sulit air tanah, semakin habis hutan lindung, semakin.... Dan seterusnya. Boleh diteruskan sendiri. Pokoknya, semuanya menjadi bertambah semangkin saja.
Bila pun masih ada yang kurang yakin tentang hal ini bisa menengok ke negara-negara Asia Selatan. Serba kumuh dan amburadul. Tingkat kesejahteraan rakyat dan jumlah buta hurufnya masihlah sangat memprihatinkan walau¬pun mereka adalah negara-negara yang demokratis, bahkan sampai ada yang dijuluki sebagai negara demokratis terbe¬sar di dunia.
Kependudukan dan Masalah Lingkungan
Selain menimbulkan berbagai macam masalah sosial, jumlah penduduk yang semakin bertambah ini juga menimbul¬kan dampak pada masalah yang lain, yaitu masalah lingkun¬gan. Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak areal persawahan dan hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk. Dan bila tadi sudah dibahas bagaimana jumlah penduduk yang semakin bertambah ini menyebabkan urbanisasi dan menimbulkan berbagai masalah sosial di kota-kota, maka kali ini kita bisa melihat bagaimana mereka yang tinggal menetap di desa pun menimbulkan masalah lain yang tak kalah seriusnya, yaitu kehancuran hutan yang ada, termasuk juga hutan lindung yang mesti dijaga.
Potret bumi belakangan ini memang menyedihkan. Dalam kurun dua puluh tahun belakangan ini planet tempat tinggal kita telah kehilangan pepohonan seluas 200 juta hektar -sebanding dengan sepertiga luas daratan Amerika. Petani di seluruh dunia kehilangan 500 juta ton lapisan tanah paling subur -jumlah yang sebanding dengan tanah yang membentang di India ditambah dengan luas daratan Perancis. Danau-danau, sungai, bahkan seluruh lautan telah berubah menjadi got raksasa dan gudang limbah. Dan puluhan ribu spesies tumbuhan dan binatang yang hidup bersama kita di berbagai tempat kini punah.
Akar dari kehancuran ini adalah kombinasi antara pertambahan penduduk dan kemiskinan di dunia ketiga. Diperkirakan, 60 % perusakan hutan di negara berkem¬bang itu, menurut majalah The Economist, bukan dise¬babkan oleh penebangan hutan untuk kayu gelondongan, melainkan karena diubahnya hutan menjadi tempat pemukiman dan lain-lain. Malah Noel Brown, direktur untuk Program Lingkungan PBB, menhitung bahwa penye¬bab kerusakan hutan 80% adalah akibat pertambahan penduduk.[3]
Meski demikian, ini bukanlah berarti bahwa perusakan hutan oleh perusahaan raksasa kemudian kita abaikan begitu saja sebab jumlah 20 hingga 40 persen dari ratusan juta hektar bukanlah jumlah yang sedikit. Dan bila dibiarkan, maka lama-lama pun akan bisa menghancurkan seluruh hutan yang ada.
Kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh penebangan yang semakin menjadi-jadi, baik oleh penduduk lokal maupun perusahaan besar, selain mengakibatkan apa yang telah disebutkan di atas, juga akan bisa menyebabkan banjir, tanah longsor serta endapan lumpur. Di Serawak misalnya, erosi ini telah menyebabkan endapan lumpur mencemari dua pertiga sungai di sana. Entahlah apa pendapat Dr. Mahathir tentang masalah ini. Lenyapnya hutan tropis ini juga berarti tidak akan ada lagi paru-paru dunia yang bisa menyerap polusi yang semakin melimpah, yang pada saat ini sebagian terbesar adalah hasil sumbangan dari negara-negara industri maju. Dan kelak ditambah dengan semua negara yang ada di dunia sebab semua negara-negara berkembang memang bercita-cita ingin menjadi negara industri besar. Besar-besaran kalau perlu, meski dengan gaji pekerja cukup kecil-kecilan saja.
Pada akhirnya, kerusakan hutan ini juga akan bisa memusnahkan jutaan spesies flora dan fauna yang ada, termasuk juga tanaman yang bisa bermanfaat bagi obat-obatan. Tak sampai 30 tahun lagi, pada tahun 2020 diperki¬rakan sepersepuluh sampai seperlima dari 10 juta spesies tanaman dan tumbuhan akan musnah sebab 50 persen dari spesies itu hidup di hutan-hutan tropis yang terus digero¬goti. Dan sekali sebuah spesies musnah, ia akan musnah untuk selamanya.[4] Bagi peminat ilmu alam, hal seperti ini akan bisa membuatnya merasa berduka. Barangkali perkataan Nietszche memang benar adanya. “Dunia ini begitu indah,” demikian katanya suatu ketika. “Tetapi, ia mempunyai wabah yang sangat berbahaya: manusia.”
Selain mengakibatkan kehancuran hutan yang ada, pertambahan penduduk yang semakin tak terkendali juga akan bisa mengakibatkan pencemaran yang luar biasa pada pantai dan lautan.
Kini tamasya laut bukan lagi janji kenyamanan. Mereka yang dekat dengan pantai tahu bahwa kini laut-laut begitu jorok, dipenuhi sampah plastik, dan ikan-ikan lenyap. Tapi, sebenarnya, tumpahan minyak, limbah pabrik dan sampah kota cuma masalah yang kasat mata. Ancaman utama untuk laut, 70 sampai 80 persen dari seluruh polusi bahari adalah sedimen dan pence¬mar yang mengalir ke laut dari sumber daratan, seper¬ti lapisan tanah teratas, pupuk, pestisida dan segala bentuk buangan industri. Terumbu karang, khususnya, amat rawan terhadap sedimen. Kini karang yang menye¬diakan rumah bagi sebagian besar spesies ikan di dunia di sepanjang Asia, Australia dan Karibia mulai berkurang.
Itulah akibat populasi penduduk pesisir yang tahun 1980 berjumlah 617 juta, kini sudah lebih dari 900 juta, dan diperkirakan akan menjadi 997 juta jiwa pada tahun 2000 nanti. Sekitar 6,5 juta ton sampah ditemukan mengalir ke laut setiap tahun.[5]
Jadi, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali ini memang bisa menyebabkan berbagai masalah dalam berbagai bidang kehidupan. Mengenai pencemaran pada lautan ini adalah suatu hal yang rasanya mengkhawatirkan mengingat dua pertiga negeri kita ini adalah terdiri dari lautan. Terlebih lagi lautan sebenarnya menyimpan kekayaan yang selama ini belum tereksploitasi sepenuhnya. Ikan-ikan kita sebagian besar membusuk di lautan tanpa sempat dikail nelayan.
Dan bila berbicara tentang masalah ikan dan lautan, maka mungkin di sini perlu diberi tambahan sedikit. Mulai saat ini, kita nampaknya perlu lebih memperhatikan dan beralih orientasi menuju lautan di dalam memenuhi kebutu¬han ekonomi mengingat lautan ini adalah sumber penghasilan yang tak akan ada habisnya. Bisa dimanfaatkan sampai kapan saja. Karena itu, marilah kita lupakan sejenak tambang di Papua atau minyak di Aceh, toh sebentar lagi akan habis juga. Kita rasanya perlu membangun suatu armada nelayan yang modern sehingga hasil lautan ini nanti bisa menjadi sumber pendapatan yang bisa diandalkan.
Terlebih lagi, tidak seperti halnya hutan, kegia¬tan perikanan ini tak memerlukan reboisasi yang memakan waktu bertahun-tahun atau malah puluhan tahun sebelum bisa dipetik hasilnya. Ikan bisa besar dan tumbuh dalam waktu singkat. Kita juga tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun sebab mereka telah dibesarkan di lautan bebas. Kita hanya cukup menjaga seperlunya agar kehidupan laut tetap berkem¬bang dengan baik dan bisa terus dimanfaatkan hingga ke generasi-generasi yang berikutnya. Bila kita memang mau membangun armada nelayan yang modern ini, maka kita bukan hanya bisa berlayar di sekitar Indonesia saja yang sebe¬narnya sudah cukup kaya, tetapi juga bisa hingga ke Lautan Pasifik. Atau kalau hasilnya memang memadai kita pun bisa berlayar ke Samudra Hindia di Selatan, bahkan hingga ke Antartika.
Potensi yang ada di lautan ini memang tak terbatas jumlahnya bagi negara yang dikelilingi lautan luas seperti Indonesia ini. Di sini kita agaknya perlu meniru Thailand yang walaupun negara tersebut termasuk negara agraris, ternyata pendapatan Thailand dari ekspor hasil lautnya telah melebihi pendapatan dari hasil pertaniannya. Mereka telah menjadi salah satu negara pengekspor hasil laut terbesar di dunia.[6] Dan karena luas lautnya tak seberapa, nelayan Thailand pun terpak¬sa sering "kesasar" ke Indonesia. Padahal, sebagaimana kita ketahui, Thailand dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Asia dan ekspor hasil pertanian merupakan salah satu andalan utamanya. Tetapi, itu sekarang telah dikalahkan oleh hasil laut.
Jadi, mudah-mudahan potensi yang ada di lautan ini nanti bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Dan rasanya kekayaan itu akan bisa memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perbaikan taraf ekonomi rakyat Indonesia. Tentunya bila jumlah penduduk Indonesia tidak terus-menerus bertambah. Dan juga tentunya bila kita tak terus-menerus mencemari lautan sehingga akan bisa memusnahkan kehidupan di sana.
Ruh dan Aborsi
Aborsi ini juga merupakan masalah yang sering diper¬debatkan dan menimbulkan pro-dan kontra. Satu pihak menye¬tujuinya sebagai salah satu cara untuk menekan laju per¬tumbuhan penduduk sedangkan yang tidak setuju biasanya mengemukakan alasan-alasan moral dan keagamaan. Mereka beranggapan bahwa praktek aborsi itu merupakan pembunuhan terhadap bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, pihak yang tidak setuju ini malah ada yang sampai menyerang klinik-klinik aborsi, serta mengancam dan membunuh para dokter yang berani melakukan praktek aborsi. Pada tahun 1994, sewaktu diadakan konperensi kependudukan di Kairo, malah ada kejadian yang cukup menarik di mana golongan agama, baik Kristen (yang dipelopori oleh Gereja) maupun Islam (yang didukung sebagian besar umat Islam) bersatu padu untuk menentang diperkenankannya praktek aborsi untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk.
Di negara-negara berkembang, kasus aborsi pada umum¬nya memang tak terlalu banyak karena mayoritas masih tetap menentangnya. Sementara itu, di Eropa dan Amerika di mana pendukung kedua kubu ini sama kuatnya, hal ini seringkali menjadi masalah. Jumlah wanita yang melakukan aborsi di sana memang sangatlah tinggi, malah di berbagai negara Eropa, terutama Eropa Timur, aborsi ini sudah dianggap sebagai hal yang lumrah saja. Sebagai contoh, pada tahun 1981 di Perancis satu dari empat wanita hamil menggugurkan kandungannya. Di Polandia angka aborsi lebih besar dari angka kelahiran, setiap tahun 800.000 hingga satu juta bayi digugurkan sementara jumlah bayi yang lahir hanyalah sekitar 700.000 saja. Di Romania sekitar 60 persen kehamilan berakhir dengan aborsi dan ini menyebabkan angka pertumbuhan penduduk di Rumania adalah yang terendah di seluruh Eropa. Sedangkan di Uni Sovyet, wanita di sana rata-rata pernah melakukan empat kali aborsi selama hidup¬nya dan angka aborsi di sana tertinggi di seluruh dunia, yaitu sekitar sepuluh juta bayi digugurkan setiap tahun¬nya.
Tingginya angka aborsi inilah yang menyebabkan kenapa Gereja di Barat sangat menentang aborsi. Berapa pun usia kandungan ia tetap tidak boleh digugurkan. Adanya pendapat seperti ini nampaknya antara lain juga disebabkan karena negara-negara Barat tidak pernah mengalami dan merasakan sendiri akibat bertambahnya jumlah penduduk tanpa terkenda¬li. Sementara itu, di kalangan umat Islam ada sedikit perbedaan pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat yang paling umum adalah karena adanya hadits yang menyatakan bahwa bayi di dalam kandun¬gan baru diberi ruh setelah berusia tiga bulan. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa aborsi itu boleh dilakukan sebelum berusia tiga bulan, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa tindak aborsi itu haram sama sekali biarpun bayi yang dikandung itu adalah hasil pemerkosaan dan tidak dikehendaki oleh ibunya. Ia tetap tidak boleh digugurkan. Entah bagaimana nasib bayi tersebut bila ia lahir. Siapa yang akan mengasuhnya kelak? Apakah mereka yang menentangnya bersedia mengasuh bayi hasil pemerkosaan tersebut bila ibunya ternyata bersikeras tidak mau mengasuhnya karena alasan-alasan traumatik? Jawabannya, jujur saja, sebagian besar adalah tidak.
Sebenarnya, bila kita mau berbincang lebih jauh lagi mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh, ini memang merupakan masalah yang sangat pelik. Rasanya, kita di sini lebih baik berpegang kepada ayat Al-Quran karena suatu hadits itu memanglah tidak bisa dijadikan pegangan bila bertentangan dengan Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Dalam salah satu ayat Al-Quran disebutkan:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Kata¬kanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanmu dan kamu hanyalah diberi sedikit pengetahuan tentang itu.
Apa yang tersebut pada ayat di atas sangatlah tepat sebab masalah ruh ini memang sukar sekali untuk kita pahami, termasuk juga tentang kapan manusia mulai mempun¬yai ruh di dalam kandungan. Bila kita mau menilik sedikit lebih ke belakang lagi dalam proses reproduksi manusia, maka akan semakin sulitlah bagi kita untuk mengatakan bahwa ruh itu baru ada setelah tiga bulan di dalam rahim. Cobalah kita pikirkan, bukankah sel-sel sperma yang menja¬di calon manusia itu itu sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai mahluk hidup? Mereka bisa bergerak sebagaimana mahluk-mahluk hidup yang sederhana lainnya walaupun umur¬nya memang cukup pendek. Tetapi, bukankah mereka hidup? Dengan demikian, bila sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup, bukankah mereka mempunyai ruh juga? Demikian pula sel telur merupakan sel-sel mahluk hidup dan bukan benda mati.
Selain itu, bila kita mau meneliti proses perkemban¬gan embrio di dalam rahim, maka kita akan mengetahui bahwa pada umur 18 hari jantung telah mulai berfungsi. Dan pada umur tujuh minggu atau sekitar satu setengah bulan calon bayi telah mempunyai gelombang otak (brain waves). Ada tidaknya gelombang otak ini adalah salah satu kriteria yang menentukan apakah bayi itu hidup atau mati.
Jadi, tentang kapan manusia mulai mempunyai ruh memang suatu hal yang masih bisa diperdebatkan lagi. Apakah di dalam testis, tempat diproduksinya sperma? Ataukah justru sebelum masuk ke tubuh manusia, yaitu di dalam tumbuh-tumbuhan sebab bukankah tumbuhan ini yang pertama kali mengolah zat anorganik menjadi zat organik? Ataukah...? Jadi, mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh memang cukup sulit untuk ditentukan. Manusia, seperti disebutkan pada ayat di atas, memang hanya diberi sedikit pengetahuan saja tentang masalah ruh.
Bila pun kita mau sedikit berpanjang lebar lagi, maka kita akan menjadi semakin memahami bahwa sebenarnya masa¬lah ruh ini memang tidaklah sesederhana yang selama ini kita pikirkan. Malah terkadang tidaklah mudah untuk menen¬tukan apakah suatu mahluk hidup itu bisa disebut sudah mati atau masih hidup. Atau apakah suatu zat itu bisa disebut sebagai zat mati atau zat hidup. Seperti misalnya saja ada seekor binatang kecil bernama tardigradus. Bina¬tang ini bila dalam keadaan biasa berumur sangat pendek, tetapi bila dikeringkan, maka ia akan menyerupai sebutir debu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali pada mahluk itu. Dalam keadaan kering seperti itu ia bisa disimpan hingga 20 atau 25 tahun dan bisa hidup lagi bila dimasukkan ke dalam air. Demikian pula ada sejenis siput yang bisa hidup lagi bila dibasahi dengan air setelah ia dikeringkan bertahun-tahun. Jadi dimanakah letak ruh itu?
Selain itu, jasad renik yang seringkali menyebabkan penderitaan bagi umat manusia, yaitu virus, adalah zat yang sulit sekali ditentukan apakah bisa digolongkan sebagai benda mati ataukah mahluk hidup. Virus ini sering disebut sebagai mahluk peralihan antara benda hidup dan benda mati. Bila dikeringkan ia bisa dianggap sebagai benda mati, yaitu berupa kristal dan bisa diperlakukan seperti zat kimia biasa lainnya. Tetapi, bila dimasukkan lagi ke dalam air, maka ia bisa berubah kembali menjadi mahluk hidup yang sangat berbahaya.
Virus ini bisa juga dipisahkan antara lapisan luarnya yang berupa protein (protein coat) dan intinya yang berupa asam nukleat (DNA atau RNA). Sewaktu terpisah, keduanya adalah zat-zat organik biasa yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Mereka tidak makan atau melakukan reproduksi. Zat yang sama sekali tidak berba¬haya. Tetapi, setelah dipeisahkan sedemikian rupa, bila ditaruh dalam medium dan kondisi yang memungkinkan mereka bisa menyatu kembali secara alamiah dan spontan, menjadi mahluk hidup lagi. Bisa kembali melakukan reproduksi, menjadi parasit dan berbahaya kembali.
Peristiwa di atas, penyatuan kembali zat-zat organik secara alamiah, oleh para ilmuwan dianggap sebagai hal yang sangat menarik karena bisa memberikan titik terang tentang asal mula kehidupan di bumi, yaitu sebelum terben¬tuknya zat-zat organik secara alamiah dari zat-zat anorga¬nik, maka zat-zat itu bisa membentuk rangkaian yang lebih kompleks dan menjadi hidup! Pembentukan rangkaian itu secara alamiah dan spontan (spontaneous self-assembly) dimungkinkan karena adanya gaya tarik menarik yang sangat kuat antar molekul (hydrogen bonding) yang sangat kuat, milyaran kali lebih kuat dari gravitasi bumi. Gaya tarik menarik ini disebabkan adanya perbedaan muatan pada atom. Atom hidrogen bermuatan positif sedangkan atom-atom lain yang menjadi komponen utama penyusun zat-zat organik seperti oksigen dan nitrogen bermuatan negatif. Proses pembentukan zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik ini disebut sebagai evolusi kimia (chemical evolution) untuk selanjutnya disambung dengan evolusi mahluk hidup. Jadi, ini memang adalah masalah yang sangat pelik dan entahlah apakah manusia nanti pada akhirnya akan bisa memahami masalah ini.
Meski demikian, walaupun kita memang tidak bisa atau pun belum bisa memahami masalah ruh ini, ini bukanlah kita di sini lalu langsung bisa begitu saja menyetujui praktek aborsi. Aborsi ini tetaplah suatu pilihan terakhir yang hanya bisa dilakukan bila keadaannya memang sudah sangat memaksa. Dan ini bukanlah karena masalah ruh tadi karena bila kita berangkat dari pemikiran ini, maka sebenarnya alat kontrasepsi yang yang mencegah bersatunya sel dengan sperma, yang bula tidak dicegah akan tumbuh menjadi manusia, bisa dikatakan mematikan hak hidup dari seorang calon manusia juga. Lagipula, seperti telah disebutkan di atas, bukankah sel sperma pun sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup? Jadi, bila aborsi ini memang suatu hal yang kurang bisa diterima, maka kita di sini lebih melihatnya dari sudut pandang bahwa aborsi ini seringkali membahaya¬kan keselamatan jiwa dari wanita yang melakukannya. Jadi, aborsi ini tetap merupakan hal yang sebisanya harus di¬hindari oleh wanita. Oleh karena itu, bila seorang wanita memang tidak atau belum menghendaki seorang bayi, maka sebaiknya ia menggunakan alat kontrasepsi sehingga mence¬gah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Tetapi, seandainya saja suatu saat kita dihadapkan kepada kenyataan bahwa keadaan memang sudah sangat memaksa karena sudah semakin padatnya jumlah penduduk sehingga aborsi ini memang terpaksa dimasukkan sebagai upaya untuk mengontrol kelahiran (sekali lagi, hanya untuk mengontrol kelahiran) dengan catatan bahwa hal-hal yang bisa membaha¬yakan wanita yang menjalaninya bisa diatasi, maka pada saat itu pula kita dihadapkan kepada dua pilihan. Dan di sini, kita memang dihadapkan kepada pilihan yang kurang buruk di antara dua pilihan yang sama-sama buruknya, yaitu manakah yang lebih baik yaitu menggugurkan janin yang belum bisa merasakan apa-apa, belum bisa merasakan rasa sakit dan lapar (karena sel-sel otak yang memang belum berkembang secara penuh) ataukah membunuhi mereka sebagai penjahat ketika mereka sudah dewasa, membantai mereka secara beramai-ramai di jalan-jalan--dan ini memang seringkali terjadi--karena semakin meluap¬nya angka kemiskinan dan pengangguran. Membiarkan mereka berbunuh-bunuhan berebut sesuap nasi, membiarkan mereka jadi pelacur di jalan-jalan, terkena penyakit kelamin dan mati kena AIDS ketika mereka sudah dewasa kelak. Ketika mereka sudah bisa merasakan lapar, merasakan sakit, merasakan kesedihan dan penderitaan.
Kemudian, supaya bisa lebih memahami apa yang dikemu¬kakan di atas, sebenarnya di dalam fiqih sendiri terdapat prinsip yang tak jauh berbeda dengan hal di atas, yaitu akhoffu dlararain. Lengkapnya adalah:
Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang sama berbahayanya (sama buruknya) adalah wajib. (al-Hadits)
Dan dari sini mudah-mudahan kita nanti akan bisa semakin bisa memahami bahwa agama itu diturunkan ke dunia adalah untuk kebahagiaan dan kese¬jahteraan umat manusia, bukan malah untuk menyulitkan dan menyengsarakan manusia. Dan memang banyak penderitaan dan keseng¬saraan yang menimpa manusia antara lain adalah disebabkan kesalahan di dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin kita perlu sekali lagi mendefinisikan arti kata moral. Atau mungkin kita juga bisa bertanya, yaitu tindakan yang bermoralkah membiarkan anak-cucu kita menjadi kaum gelandangan, pengangguran, anak jalanan, penjahat dan pelacur karena kemiskinan yang diakibatkan berlebihnya jumlah penduduk? Bila kita mempelajari anthropologi dan sejarah etika, barangkali kita akan lebih bisa memahami masalah ini. Moral memang haruslah senantiasa ditujukan kepada kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan umat manusia. Itulah tujuan dari kata moral dan bukan sebaliknya.

PENGERTIAN, TUJUAN, PERSYARATAN DAN KEGUNAAN ASPEK LEGAL PELAYANAN KEBIDANAN, OTONOMI DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Written by oman on at 09.33

A. Pengertian Kebidanan
Kebidanan adalah ilmu yang terbentuk dari sintesa berbagai disiplin ilmu atau multi disiplin yang terkait dengan pelayanan kebidanan meliputi ilmu kedokteran, ilmu keperawatan, ilmu sosial, ilmu perilaku, ilmu budaya, ilmu kesehatan masyarakat, dan ilmu manajemen, untuk dapat memberikan pelayanan kepada ibu dalam masa pra konsepsi, hamil, bersalin, post partum, dan bayi baru lahir. Pelayanan kebidanan tersebut meliputi pendeteksian keadaan abnormal pada ibu dan anak, melaksanakan konseling dan pendidikan kesehatan terhadap individu, keluarga dan masyarakat.
Kebidanan adalah seni dan praktek yang mengkombinasikan keilmiahan, filosofi dan pendekatan pada manusia sebagai syarat atau ketetapan dalam pemeliharaan kesehatan wanita dan proses reproduksinya yang normal, termasuk kelahiran bayi yang mengikutsertakan keluarga dan atau orang yang berarti lainnya. Lang,1979.

B. Fungsi Etika Dan Moralitas Dalam Pelayanan Kebidanan
2. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
3. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain
4. Menjaga privacy setiap individu
5. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
6. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
7. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
8. Menghasilkan tindakan yg benar
9. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
10. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
11. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
12. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik
13. Mengatur hal-hal yang bersifat praktik
14. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
15. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.

C. Hak Kewajiban Dan Tanggungjawab
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien. Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
a. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien:
1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3) Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.
4) Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
5) Pasien berhak mendapatkan ;nformasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.
6) Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan berlangsung.
7) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
8) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dad pihak luar.
9) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.
10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
11) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
a) Penyakit yang diderita
b) Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
c) Alternatif terapi lainnya
d) Prognosisnya
e) Perkiraan biaya pengobatan
12) Pasien berhak men yetujui/mem berikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesuadah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
14) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.
17) Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.
18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.

b. Kewaiiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja.
2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.
5) Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.
8) Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
9) Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
10) BidanwajibmengikutiperkembanganIPTEKdanmenambahilmupengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.
11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secra timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.


KESIMPULAN
Dalam upaya mendorong profesi keperawatan dan kebidanan agar dapat diterima dan dihargai oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka mereka harus memanfaatkan nilai-nilai keperawatan/kebidanan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang kuat dalam mengemban peran profesionalnya. Dengan demikian perawat atau bidan yang menerima tanggung jawab, dapat melaksanakan asuhan keperawatan atau kebidanan secara etis profesional. Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar, melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap hak-hak pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan keperawatan atau kebidanan

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENYELAMATKAN PEREKONOMIAN NASIONAL

Written by oman on at 09.32

Krisis perekonomian Indonesia merupakan dampak dari krisis yang melanda Asia pada tahun 1997-an dan tidak ada satu negarapun yang menginginkan krisis itu terjadi. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai pilihan kebijakan (policy response) yang diambil Pemerintah waktu itu. Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling banyak disorot – bahkan dilakukan penyelidikan oleh Panitia Kerja (Panja BLBI) Komisi IX DPR RI dan ditindaklanjuti dengan audit investigasi oleh BPK RI - karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara pasca krisis. Oleh karena itu, untuk mendudukkan pokok persoalan BLBI secara proporsional, faktual dan jernih, diperlukan tinjauan yang objektif dan komprehensif dalam konteks manajemen krisis waktu itu maupun penyelesaiannya di masa datang.

A. Kebijakan Penyaluran BLBI dan Kondisi Ekonomi yang Melatarbelakangi

Semua pihak mengakui bahwa dimensi krisis nilai tukar pada Agustus 1997 sangatlah besar dan implikasinya sangat luas. Pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah – untuk mengatasi depresiasi Rupiah - memberikan dampak buruk bagi perbankan dan sektor riil. Terlebih lagi, penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank, ternyata mengakibatkan keadaan yang sebaliknya.

Kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional runtuh. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha berikutnya dan tidak adanya program penjaminan simpanan telah menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Hal ini mendorong masyarakat melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang kurang sehat ke bank lain yang dianggap lebih sehat (Grafik 1.3). Sebagai gambaran , uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp24,9 triliun pada akhir Oktober 1997 menjadi Rp37,5 triliun pada akhir Januari 1998, dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 yang mencapai Rp.45,4 triliun.

Sementara itu, berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok - yang sangat mengkhawatirkan karena menyangkut pula kelangkaan kebutuhan medis/obat-obatan seperti infus - menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin tinggi. Hal ini mendorong pembelian barang-barang secara berlebihan dan peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valas. Akibatnya bukan saja inflasi melonjak mencapai 6,88% pada bulan Januari 1998 (sekitar 89,8% year to year pada bulan Maret 1998) dan nilai tukar merosot tajam hingga Rp 16.000 pada tanggal 22 Januari 1998, melainkan juga meyebabkan penarikan simpanan di bank semakin menjad-jadi.

Kepanikan masyarakat tersebut menyebabkan tekanan yang berat terhadap posisi likuiditas perbankan. Beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga terkena imbas sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank. Akibatnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sebagian besar bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di BI. Untuk mengatasi kesulitan itu, dana pinjaman antar bank menawarkan bunga yang sangat tinggi antara 40%-100% pa. Bahkan di level ini pun tidak jarang sangat sulit untuk memperoleh dana yang cukup.

Guna segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan, pada akhir Januari 1998 Pemerintah mengambil kebijakan memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri (blanket guaranty) dan pembentukan BPPN untuk melakukan langkah penyehatan bank-bank yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah tersebut belum memadai. Krisis perbankan belum mereda, bahkan telah meluas dan mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional. Fenomena kesulitan likuiditas yang menyebabkan pelanggaran GWM dan bahkan saldo negatif pada rekening giro di BI itu semakin meluas di kalangan perbankan.

Dalam keadaan kesulitan likuiditas bank-bank yang bersifat sistemik ini Pemerintah dihadapkan pada 2 (dua) pilihan kebijakan, yaitu membiarkan bank-bank dikenakan sanksi stop kliring sehingga berguguran secara massal dan dalam tempo singkat; atau melakukan tindakan penyelamatan. Kebijakan yang dipilih – sesuai kesepakatan Pemerintah dan IMF – adalah melakukan penyelamatan karena dalam suasana krisis multi dimensi seperti itu kebijakan untuk menutup bank bukanlah opsi yang realistis.

Statistik menunjukkan bahwa pangsa bank-bank yang seharusnya dikenakan sanksi stop kliring mencapai 55,2% dari total seluruh industri perbankan. Eksposure kewajiban yang harus dibayar sangat besar mencapai sekitar Rp 293,1 triliun atau Rp 395 triliun (dengan memasukkan BEII, BCA dan BPD) dengan jumlah rekening 12,6 juta dan kantor sejumlah 2220. Efek domino yang dapat terjadi adalah apabila bank-bank itu di-stop kliring, tagihan antar bank sekitar Rp 29,4 triliun tak akan terbayar yang pada gilirannya akan menimbulkan dampak negatif bagi bank-bank pemilik tagihan. Di sektor riil, stop kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas perdagangan akan terhenti. Sementara itu, biaya yang harus dibayar apabila opsi penutupan bank diperkirakan mencapai Rp 395,0 trilyun dan belum memperhitungkan ongkos gejolak sosial yang timbul sebagai akibat kepanikan masyarakat. Penting untuk dicatat bahwa situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu adalah illiquid, bukan insolvent sehingga mencerminkan bahwa dalam kondisi rush, bank yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas tanpa bantuan Pemerintah.

Statistik berikut menunjukkan mengapa sistem perbankan perlu dipertahankan melalui BLBI
Besarnya dana pihak ketiga yang harus dibayar dalam sistem perbankan :

Posisi BLBI pada Desember 1998 mencapai Rp 147,7 triliun. Pada saat dilakukan kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 6 Februari 1999, posisi BLBI direvisi menjadi Rp 144,54 triliun.

Apabila tidak diberikan bantuan kepada perbankan, maka akan terjadi rush sebesar Rp.454,4 triliun (Desember 1997) atau Rp.680,2 triliun (Desember 1998), jauh lebih besar dari jumlah BLBI yaitu Rp.48,8 triliun (Desember 1997) atau Rp. 147,7 triliun (Desember 1998).

Sementara itu, utang luar negeri perbankan yang berbentuk valas juga menimbulkan tekanan tersendiri. Kepercayaan bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam negeri (dalam rangka perdagangan) berkurang karena dengan depresiasi Rupiah menyebabkan timbulnya tunggakan pembayaran hutang luar negeri dan dalam rangka perdagangan luar negeri sebesar Rp.77,6 triliun (Desember 1997) atau Rp.95,7 triliun (Desember 1998). Akibatnya credit line kepada bank-bank di dalam negeri dihentikan dan tidak lagi menerima L/C yang dikeluarkan oleh bank-bank di Indonesia. Impor terancam terutama untuk barang-barang yang sangat penting seperti obat-obatan dan beras serta untuk bahan baku ekspor. Sebagai jalan keluar, Pemerintah melalui Frankfurt Agreement melakukan kesepakatan dengan kreditur luar negeri agar mereka bersedia membuka kembali credit line tersebut serta kesediaan merestrukturisasi utang luar negeri bank. Untuk itu, kreditur mensyaratkan agar Pemerintah dapat menyelesaikan tunggakan trade finance dan utang luar negeri perbankan. Komitmen atau kesepakatn itu dilakukan Pemerintah, namun mengingat keterbasan dana yang dimiliki Pemerintah, maka BI diminta melakukan pembayaran sehingga menimbulkan dana talangan BI dalam rangka kewajiban pembayaran tunggakan trade finance dan utang luar negeri bank.

Sesungguhnya Indonesia tidak berdiri sendiri disini. Dalam penyelenggaraan perekonomian di negara manapun, diyakini bank memiliki peranan strategis sebagai penggerak roda perekonomian – baik dari segi pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, pengerahan dana maupun penyaluran kredit - sehingga tindakan penyelamatan perekonomian di negara yang mengalami krisis seperti Korea, Thailand, Brazil, Meksiko, pilihan untuk tidak menutup bank merupakan kebijakan yang seharusnya diambil, berapapun cost yang ditimbulkan.

Dalam konteks ini sangat sulit dibayangkan perekonomian negara dijalankan tanpa adanya bank. Bahkan, tahap pemulihan yang telah dicapai Indonesia akhir-akhir ini tampaknya mustahil dapat diperoleh jika di masa krisis yang lalu, keruntuhan sistem perbankan dibiarkan, tanpa tindakan penyelamatan.

Dalam konteks keadaan ekonomi seperti itulah, kebijakan penyaluran BLBI berlangsung. Dari sisi yuridis, penyaluran BLBI itu sesungguhnya bukan merupakan kebijakan yang "baru" dan secara mendadak diciptakan. Kebijakan itu telah dilakukan jauh sebelum terjadinya krisis moneter dan memiliki landasan hukum BI yang lama yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan "Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat" sedangkan pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun 1992 menegaskan "Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.".

Istilah BLBI itu sendiri dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah dalam Letter of Intent kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang ditandatangani oleh Menko Ekkuin itu, Pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) BI kepada perbankan sehingga secara jelas dapat disimpulkan BLBI merupakan program Pemerintah yang di-acknowledge oleh IMF bahkan menjadi conditionality yang ditetapkan oleh IMF. Meskipun dalam pengertian luas liquidity support itu meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat dan fasilitas diskonto I dan II, BLBI yang diberikan dalam masa krisis itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan likuiditas terutama yang berupa saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.

Dalam pelaksanaannya, penyaluran BLBI yang mencapai Rp 144,54 triliun itu dapat dikategorikan dalam beberapa kebijakan. Pertama, BLBI yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan likuditas bank yaitu saldo debet, SBPUK dan fasilitas diskonto (Rp 129,40 triliun). Kedua, dalam rangka pembayaran seluruh sisa dana masyarakat pada 16 Bank Dalam Likudidasi dan Bank Beku Operasi (Rp 6,015 trilyun). Ketiga, BLBI berupa dana talangan untuk pembayaran tunggakan trade finance kepada kreditur luar negeri (Rp 9,13 triliun). Untuk kategori pertama, dilakukan berdasarkan kebijakan Pemerintah tidak memberlakukan stop kliring, sedangkan kategori kedua dan ketiga, berdasarkan kebijakan penjaminan Pemerintah baik dalam blanket guaranty (Keppres No. 26 tahun 1998) maupun penjaminan luar negeri (Keppres No. 120 tahun 1998). Dengan demikian, penyaluran BLBI itu sesungguhnya berada dalam koridor ketentuan Pemerintah.

Pilihan kebijakan untuk tidak menutup bank melalui pemberian BLBI, sebagaimana disimpulkan oleh Pimpinan DPRI dalam rapat konsultasi dengan Gubernur BI tanggal 22 Juni 2000, adalah berdasarkan kepada kebijakan Pemerintah yang telah ditetapkan dalam sidang kabinet terbatas Bidang Ekku Wasbang dan Prodis tanggal 3 September 1997 di Bina Graha dan salah satu keputusan Presiden menugaskan Gubernur BI dan Menteri Keuangan yaitu untuk mengambil langkah-langkah untuk membantu bank-bank nasional yang sehat, tetapi mengalami kesulitan likuiditas, sementara bank yang nyata-nyata tidak sehat supaya diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil, supaya dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan, terutama deposan kecil.

Fakta tersebut melengkapi rangkaian peristiwa sebelumnya ketika pada bulan Oktober 1996 dan April 1997, Direksi BI menghadap presiden untuk mengusulkan perlunya likuidasi beberapa bank bermasalah yang dinilai indolvent. Usulan tersebut belum disetujui dengan alasan stabilitas keamanan menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR tahun 1998. Memperhatikan sikap pemerintah tersebut dan munculnya krisis perbankan, pada tanggal 15 Agustus 1997 Direksi BI memutuskan untuk memberikan dispensasi bank-bank bersaldo debet tetap ikut kliring.

Rangkaian fakta itu penting guna menunjukkan bahwa BLBI adalah policy Pemerintah. Pada waktu itu, sesuai Undang Undang no. 13 tahun 1968, kedudukan BI adalah sebagai bagian dari Pemerintah. Dengan pertimbangan yang nyaris sama, yaitu untuk mengembalikan kepercayaan, mempercepat pemulihan ekonomi, dan sebagai upaya mengembalikan fungsi intermediasi perbankan, Pemerintah pada saat ini pun melakukan hal yang hampir sama, misalnya dalam merekapitalisasi perbankan. Dalam pelaksanaan operasional kedua hal tersebut di lapangan, sudah tentu BI dipagari oleh rambu-rambu ketentuan baik berupa Keppres, SKB dengan Menkeu atau Ketua BPPN maupun SK Direksi BI.

Kondisi dan kebijakan Pemerintah tersebut sesungguhnya terjadi pula dewasa ini antara lain Pemerintah merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi persyaratan yang rata-rata CAR-nya di bawah -25%. Pertimbangannya juga relatif sama yaitu memelihara "kepercayaan" kepada Pemerintah disamping pertimbangan banyaknya nasabah dan pegawai di sektor perbankan.

B. Penyaluran BLBI : Pandangan DPR, Opini Auditor dan Persepsi Masyarakat

Adakah Pemerintah termasuk BI memiliki pengalaman dalam menangani manajemen krisis? Jawaban atas pertanyaan ini penting dalam menyikapi perdebatan mengenai ekses yang ditimbulkan dari penyaluran BLBI. Bahwa dalam pelaksanaan operasional penyaluran BLBI tersebut memerlukan beberapa klarifikasi – sebagaimana yang tertuang dalam hasil audit investigasi BPK-RI - tentunya tidak terlepas dari tekanan krisis waktu itu yang bergulir sangat cepat dan menuntut implementasi kebijakan secara cepat dan tepat pula.

Sebagai gambaran, manajemen pengambilan keputusan di BI waktu itu dilakukan secara harian dalam jadwal yang ketat. Disamping rapat Direksi juga dilakukan forum morning call dan evening call setiap hari. Tekanan krisis yang bertubi-tubi dan dinamis menyebabkan beberapa ketentuan yang mengatur penyaluran BLBI kadangkala tertinggal di belakang sehingga sering dilakukan perubahan-perubahan. Misalnya, berdasarkan ketentuan BI, bank yang kalah kliring sehingga bersaldo debet seharusnya di-stop kliring. Namun, karena terdapat payung kebijakan Pemerintah, Bank Indonesia menempuh kebijakan untuk tidak melakukan sanksi stop kliring demi menghindari risiko sistemik yang lebih luas. Dalam cara pandang lewat kacamata sekarang, hal itu sering menimbulkan keraguan dan pertanyaan.

Dalam situasi demikian, beberapa ekses seperti kelengkapan dokumentasi, kelemahan sistem pengawasan memang perlu dicermati dengan tetap memperhatikan konteks kejadian dan nuansa kebijakan yang melingkupi. Pemisahan persoalan secara tegas bahwa penyimpangan dalam penggunaan BLBI terjadi di tingkat bank penerima BLBI, perlu memperoleh penekanan secara wajar.


a. Pandangan Dewan Perwakilan Rakyat

Sebelum dilakukan audit investigasi, Panja BLBI Komisi IX DPR RI dalam laporannya tanggal 6 Maret 2000 telah memberikan pernyataan politik bahwa BLBI merupakan kebijakan Pemerintah dan menjadi tanggung jawab Pemerintah bahkan dari tanggung jawab finansial, Pemerintah bertanggung jawab dari kemungkinan terjadinya likuidasi, karena equity BI merupakan kekayaan negara. Dalam aspek hukum DPR merekomendasikan agar Jaksa Agung, Kapolri, Makhamah Agung, Menkumdang secepatnya merumuskan formulasi kebijaksanaan hukum secara jelas dan transparan mengenai arah kebijaksanaan penyelesaian BLBI termasuk pelanggaran BMPK. Pimpinan DPR juga menjanjikan untuk menjembatani perbedaan pendapat antara BI dengan Menteri Keuangan mengenai status BLBI dalam neraca BI.

b. Opini BPK - RI

Mengacu pada siaran pers BPK-RI tanggal 4 Agustus 2000 tentang hasil audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI sebenarnya terdapat pengakuan bahwa temuan-temuan yang berkaitan dengan penyimpangan penyaluran BLBI di BI, pada dasarnya merupakan implikasi kebijakan Pemerintah untuk tidak memberikan sanksi stop kliring pada bank yang bersaldo debet.

Temuan-temuan yang dikemukakan BPK-RI tersebut akan digunakan sebagai masukan dalam rangka rencana verifikasi yang disepakati oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 6 Februari 1999.

Namun demikian, dari sisi pendekatan audit, BPK tampaknya kurang melakukan pendekatan secara makro mengenai bottom line dari kebijakan penyaluran BLBI. BPK terpaku pada pengertian audit investigasi yaitu audit teknis secara mikro menurut standard akunting sehingga yang dipotret hanya pada objek yang ada datanya yaitu di BI dan bank penerima sedangkan payung kebijakan yang mendasari dan proses penyelesaian yang telah dan sedang dilakukan melalui BPPN kurang diperhatikan. Seharusnya, BPK tidak hanya melihatnya secara mikro – meskipun untuk keperluan verifikasi memang diperlukan – dan merumuskannya sebagai kesimpulan-kesimpulan adanya kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank, kelemahan manajemen penyaluran BLBI, potensi kerugian negara dan penyimpangan dalam penggunaan BLBI, tanpa menarik benang merah ke situasi krisis dan pilihan kebijakan yang melatarbelakangi dan hasil penyelesaian yang telah dan sedang dilakukan.

Untuk memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat, terhadap temuan BPK-RI itu perlu diberikan klarifikasi atau tanggapan sbb:
Kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank serta manajemen penyaluran BLBI
BPK menyimpulkan peyimpangan BI dalam menyalurkan BLBI selain karena faktor ekstern yaitu krisis moneter juga tidak terlepas dari kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank oleh BI pada waktu yang lalu. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi yang akhirnya tergantung pada bantuan likuiditas BI, dalam berbagai bentuk/skim. Disamping itu, kekeliruan BI dalam memberikan BLBI adalah pada saat BI tidak melakukan stop kliring kepada bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup sesuai ketentuan karena khawatir terjadinya efek domino (Untuk selanjutnya kalimat yang tercetak italic merupakan kutipan pernyataan BPK dalam siaran persnya).

Kesimpulan yang diambil BPK sebenarnya harus diletakkan kembali pada pilihan kebijakan Pemerintah yang sudah diketahui secara umum untuk tidak melakukan stop kliring dan penutupan bank. Dalam hal secara politis kebijakan itu memang yang menjadi pilihan Pemerintah, tentunya kurang tepat untuk mempertanyakan opsi itu semata-mata ke BI. Dalam beberapa kesempatan BI sebenarnya bermaksud menegakkan ketentuan secara konsisten antara lain menutup bank yang tidak sehat. Namun, Pemerintah sering kali menolak usulan ini dengan berbagai pertimbangan yang bersifat politis yaitu untuk mencegah gejolak sosial menjelang peristiwa politik tertentu (Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR) .

Pada tahun 1997 dan awal 1998, skim penjaminan Pemerintah belum terbentuk sehingga pengenaan sanksi stop kliring terhadap sejumlah bank bermasalah (bersaldo debet) secara serentak dalam kondisi krisis akan membawa dampak kepanikan masayarakat termasuk bank-bank yang memiliki tagihan kepada bank-bank yang dikenakan sanksi stop kliring tersebut. Sebagaimana disebutkan dimuka, eksposure kewajiban yang harus dibayar sangat besar mencapai sekitar Rp 293,1 triliun atau Rp 395 triliun (dengan memasukkan BEII, BCA dan BPD) dengan jumlah rekening 12,6 juta dan kantor sejumlah 2220. Pangsa bank-bank itu kurang lebih 55,2% dari total seluruh industri perbankan. Kondisi tersebut belum sebanding dengan kondisi rekapitalisasi yang dilakukan terhadap beberapa bank dewasa ini dimana Pemerintah telah mengeluarkan obligasi sebesar Rp 375,18 triliun (per posisi 7 Juli 2000)untuk menyelamatkan nasabah dan tujuan perekonomian lainnya.

Dengan eksposure tersebut dapat dipastikan bahwa sanksi stop kliring akan mengganggu kestabilan sistem pembayaran dan perbankan sebagai akibat efek domino. Dalam kondisi normal, efek domino itu memang sulit dibayangkan kejadiannya namun pengambil kebijakan di hampir seluruh dunia umumnya sangat berhati-hati dalam menilai risiko efek domino itu. Sebagai gambaran, pemerintah Amerika pun, dengan pertimbangan efek domino, pernah menyelamatkan bank ber-asset besar Continental Illinois Bank dan juga puluhan Saving and Loan Istitutions dari kebangkrutan yang biaya penyelamatannya juga dibebankan pada keuangan negara.
BPK juga mengemukakan karena penyaluran BLBI dilakukan melalui mekanisme kliring, BI tidak dapat mengetahui apakah benar dana BLBI dipergunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush dan bukan digunakan untuk kepentingan group pemilik bank. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar menukar warkat dalam rangka memperlancar sistem pembayaran berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Relevan untuk dikemukakan bahwa esensi dari dampak kesulitan likuiditas bank-bank memang selalu mengarah pada kegiatan kliring antar bank. Kegiatan kliring merupakan sarana penyelesaian utang piutang antara nasabah suatu bank dengan nasabah lain yang diselenggrakan oleh BI. Di dalam perhitungan kliring, suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana oleh nasabah ataupun kreditur lainnya dengan alasan kekurangan likuiditas. Hasil akhir perhitungan kliring, kalah ataupun menang akan bermuara pada rekening masing-masing bank di BI. Apabila suatu bank mengalami kekalahan kliring dalam jumlah jauh lebih besar dari dananya yang tersedia (saldo kredit) pada rekening gironya di BI, maka rekening itu secara otomatis dengan sepengetahuan bank akan bersaldo debet (overdraft). Pada prinsipnya rekening giro bank di BI tidak boleh bersaldo negatif dan apabila hal itu terjadi maka bank yang bersangkutan harus dapat menutup kekurangannya sebelum kliring berikutnya dimulai. Seandainya bank yang bersangkutan tidak menutup saldo giro negatif itu maka bank akan dihentikan (skorsing) untuk sementara sebagai peserta kliring. Saldo debet itulah yang kemudian dikonversi menjadi BLBI.

Untuk daerah Jabotabek saja, jumlah warkat kliring per hari mencapai 200 ribu warkat. Oleh karena itu, sangat mustahil untuk melakukan pengecekan satu persatu warkat kliring guna mengetahui apakah transaksi kliring itu digunakan untuk kepentingan group pemilik bank. Meskipun demikian, BI tetap melakukan pengawasan terhadap penggunaan BLBI itu melalui pemeriksaan post audit. Beberapa penyimpangan yang dilakukan bank dalam penggunaan fasilitas ini sebanyak 39 bank yang diindikasikan adanya unsur tindak pidana telah dilaporkan kepada aparat yang berwenang.
Pada bagian lain, BPK menyoroti kelemahan lain dari sistem perbankan berupa jumlah bank dan cabang bank yang diawasi tidak seimbang dengan jumlah pengawas bank sehingga frekuensi pemeriksaan langsung yang semestinya sekurang-kurangnya setahun sekali tidak dapat terlaksana.

Jumlah pemeriksa/pengawas bank dibandingkan dengan jumlah bank yang beroperasi memang kurang memadai, namun tidak berarti BI tidak melakukan pengawasan dan pembinaan bank. Sebelum krisis, BI telah menangani beberapa bank bermasalah sehingga menjadi sehat baik melalui merger, masuknya investor baru maupun tindakan pembinaan lainnya. Selama tahun 1997 BI bekerja sama dengan kantor akuntan publik memeriksa bank dengan TOR yang disusun BI. Meski demikian, pada saat krisis tenaga pemeriksa maupun pengawas bank lebih banyak dikonsentrasikan pada crash program monitoring likuiditas, penutupan dan pembekuan bank serta evaluasi kinerja bank-bank dalam rangka rekapitalisasi.

BI juga konsisten mengeluarkan ketentuan prudensial di bidang perbankan sebagai rambu-rambu operasional bank disamping pemeriksaan langsung yang bersifat post audit. Secara administratif Direksi Bank tetap bertanggungjawab apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan yang berlaku termasuk penyimpangan dalam penggunaan BLBI.

2. Penyaluran BLBI berpotensi menjadi kerugian negara

BPK menyatakan dari hasil audit investigasi atas penyaluran BLBI sebesar Rp 144.536.086 juta, diketemukan penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138.442.026 juta atau 95,78% dari total BLBI yang disalurkan posisi tanggal 29 Januari 1999.

Angka potensi kerugian Pemerintah sebesar Rp 138,4 triliun diakui sendiri oleh BPK masih belum final karena tergantung hasil proses recovery yang masih sedang berlangsung. Dari perhitungan BPPN yang dinyatakan kepada Panja DPR tingkat recovery penjualan asset (core and non core asset) dapat mencapai 50%. Dengan perhitungan cash in selama 4 tahun, dari cash out selama 20 tahun (dengan grace period 5 tahun) dan bunga 3%, Pemerintah tidak akan mengalami kerugian. Apabila ternyata tingkat recovery di bawah itu, sebenarnya kekurangannya tidak dapat dikatakan sebagai kerugian negara lebih tepat dikatakan sebagai biaya bagi stabilisasi sistem perbankan dan sistem pembayaran serta lebih terpuruknya ekonomi nasional.

Disamping itu, masih dipertanyakan apakah tepat menilai potensi kerugian negara di pihak BI sementara tagihan BLBI itu sudah dialihkan kepada Pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No.55 tahun 1998 tanggal 6 April 1998 tentang Pinjaman Dalam Negeri Dalam Bentuk Surat Utang yang dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan "pada tahap pertama akan diterbitkan surat utang senilai Rp.80 triliun". Artinya Pemerintah melalui BPPN sedang dan telah melakukan recovery dari tagihan, bahkan untuk BTO penagihan itu dilakukan dengan cara konversi melalui penyertaan modal Pemerintah. Demikian pula, BPPN telah menandatangani MSAA & MRNIA dengan pemegang saham BBO untuk pengembalian BLBI baik melalui penyerahan asset maupun pembayaran tunai kepada BPPN. Atas penandatanganan MSAA ini, Pemerintah menerbitkan release and discharge yang menyatakan tagihan BLBI menjadi lunas dan tidak akan melakukan penuntutan pidana atas pelanggaran yang dilakukan bank serta me-release semua jaminan yang dahulu diikat untuk BLBI (sehingga pertanyaan BPK tentang kecukupan jaminan dsbnya sebenarnya sudah tidak relevan lagi).

Dari kronologi itu, sebenarnya tagihan BLBI sudah dialihkan ke Pemerintah dan Pemerintah menyatakan sudah menerima pelunasan. Namun, Pemerintah belum mau mengakui seluruh BLBI dan tergantung pada audit BPK sedangkan BPK merekomendasi sebesar 95,78% tidak layak. Pertanyaan yang timbul, kalau BLBI belum diakui, apakah yang menjadi dasar Pemerintah menagih ke pemegang saham?

Dari 9 bank penandatanganan MSAA dan MRNIA terdapat jumlah BLBI sebesar Rp.109 triliun dan menurut informasi dari media massa para pemegang saham dari ke-9 bank tersebut telah telah menerima release and discharge dari BPPN. Dengan demikian dari BLBI sebesar Rp.144,5 triliun yang dialihkan kepada Pemerintah, dan sampai saat ini belum dinyatakan diterima seluruhnya oleh Pemerintah, sudah dilakukan "deal" oleh Pemerintah sebesar Rp.109 triliun dan bilamana sudah dikeluarkan release and discharge berarti Pemerintah telah menerima pelunasan sebesar Rp.109 triliun. Hal ini berarti tinggal sebesar Rp.35 triliun lagi BLBI yang masih dapat dianggap mempunyai potensi kerugian negara, itupun sebelum Pemerintah melalui BPPN melakukan penagihan kepada pemegang saham dari bank-bank penerima BLBI yang menurut rencana akan segera dilakukan.

Dari transaksi "tagih-menagih" ini jelas potensi adanya kerugian negara telah beralihnya dari Bank Indonesia kepada Pemerintah/BPPN yang melakukan penagihan. Mengingat hasil tagihan Pemerintah/BPPN sebagian tunai dan sebagian besar berupa asset maka potensi kerugian negara sangat tergantung pada hasil penjualan asset (termasuk saham Pemerintah pada bank yang direkapitalisasi) yang pada gilirannya juga sangat tergantung pada kondisi ekonomi, politik dan keamanan yang mendukung terciptanya iklim investasi yang baik. Dengan perkataan lain kalau kita semua menginginkan agar Pemerintah dan rakyat tidak menanggung kerugian akibat nilai asset yang dikuasai oleh BPPN menurun, maka menjadi kewajiban semua pihak untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk investasi itu.

Dengan demikian, potensi kerugian yang disebutkan oleh BPK sebenarnya sebagian besar sudah diambil alih oleh Pemerintah dan proses recovery melalui penjualan asset oleh BPPN saat ini terus berlangsung sehingga terlalu dini untuk menyimpulkan adanya kerugian negara apalagi sampai mencapai 95,78% dari total BLBI.
Penyimpangan dalam penggunaan BLBI
Dari total penerimaan BLBI pada 48 bank yang diinvestigasi sebesar Rp 144.536.086 juta, telah ditemukan berbagai pelanggaran dari ketentuan yang berlaku dalam penggunaan BLBI. Penyimpangan yang ditemukan tersebut diklasifikasikan ke dalam pelbagai jenis penyimpangan jika ditinjau dari tujuan penggunaannya.

Mengingat obyek investigasi adalah di pihak bank penerima, tentunya proses hukum yang akan menentukan kelanjutannya dan BI akan mendukung proses hukum itu.

c. Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat terhadap BLBI umumnya direpsentasikan oleh pendapat pengamat, praktisi ataupun lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap transparansi penyelenggaraan kebijakan publik. Pertanyaan seputar apakah dalam penyaluran itu terdapat free riders khususnya para pemilik bank yang memanfaatkan BLBI untuk tujuan lain? Sejauhmana kerjasama dengan aparat BI apabila praktek penyimpangan itu dilakukan? Pertanyaan ini cukup wajar meskipun dari beberapa sisi terdapat kesan adanya ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan vonis melalui surat kabar (trial by the press) dan penilaian sudah terbentuk terlebih dahulu berlandaskan opini negatif. BI menyadari bahwa hal ini merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial sehingga untuk ikut andil dalam fungsi itu, BI juga berkeinginan memberikan balanced information.

Pihak yang secara gencar melontarkan opini mengenai BLBI adalah Center for Banking Crisis. (CBC). Meskipun BPK telah menyerahkan hasil audit invistigasi kepada DPR, sebagaimana diketahui, audit itu belum dipublikasikan secara rinci kepada publik karena sedang ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Kejaksaan Agung. Namun demikian, CBS telah menyelenggarakan pertemuan pers dan membuat sejumlah rekomendasi mengenai sejumlah perjabat BI yang terlibat penyaluran BLBI, mengusulkan pencekalan bahkan meminta agar seluruh dewan gubernur diganti, minimal sejumlah nama yang direkomendasikan BPK termasuk Deputi Gubernur Senior karena sejak awal masuk bank sentral yang bersangkutan tidak mengambil langkah tegas.

Rekomendasi yang diberikan itu tanpa sedikitpun menyinggung mengenai pengertian BLBI dan latar belakang kondisi krisis perekonomian yang melatar belakangi. Disitu hanya diberikan judgment bahwa semua penyaluran BLBI berindikasi pidana dan semua pejabat BI terkait yang bertugas dari pertengahan 1996 hingga Agustus 1999 dicekal dan diperiksa sebagai tersangka oleh Jaksa Agung. Rekomendasi ini sangat misleading dan menyesatkan masyarakat. Seharusnya menjadi tugas semua pihak untuk memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Dengan judgment yang langsung negatif tanpa sedikitpun menyinggung apalagi mempertimbangkan krononologi dan politik ekonomi penyaluran BLBI, sesungguhnya menimbulkan pertanyaan, adakah agenda tertentu yang ingin dicapai atau dijadikan target dalam pembenrukan opini negatif tersebut?

BI sangat menyadari perasaan masyarakat mengenai besarnya ongkos yang ditanggung negara dalam penyaluran BLBI. Masa depan kondisi keuangan negara juga menjadi kepentingan BI karena eratnya keterkaitan kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawab BI. Namun, masyarakat seyogyanya menyadari risiko sistemik dan efek domino yang lebih dahsyat apabila tidak dilakukan tindakan penyelamatan bank. Apa yang dilakukan Pemerintah melalui BLBI untuk menghindari stop kliring misalnya, juga untuk melindungi masyarakat. Sulit dibayangkan apabila eskposure dana masyarakat sekitar Rp 395 triliun tidak terbayar karena sekitar 55,2% dari industri perbankan ditutup. Kalau hal itu terjadi, dapat dipastikan, perekonomian Indonesia bangkrut total. Bukan saja simpanan masyarakat kecil akan hilang, melainkan gaji jutaan buruh dan pegawai akan terhenti dan sektor riil kolaps karena semua dana dunia usaha tersimpan di bank.

Sangat beralasan bahwa sulit membayangkan dampak efek domino, dalam sudut pandang situasi relatif normal seperti sekarang. Namun, dampak penutupan 16 bank tanggal 1 November 1997 kiranya sangat merepresentasikan kepanikan masyarakat waktu itu. Dalam hubungan ini, Center for Financial Policy Studies – sebuah LSM yang dibentuk oleh para pengamat ekonomi – dalam buku ‘BLBI: Suatu pelajaran sangat mahal bagi otoritas moneter dan perbankan’ – mengakui kepercayaan yang sangat rendah kepada perbankan dan prospek ekonomi Indonesia, nilai rupiah yang terus melemah, serta rumor yang beredar mengenai bank kalah kliring, rugi valas dan bank yang akan dilikuidasi telah mengakibatkan penarikan dana nasabah secara besar-besaran. Keadaan tersebut terjadi pada saat pemerintah melancarkan kebijakan uang ketat untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan moneter. Akibatnya bank yang sudah berada dalam keadaan defisit tidak dapat memperoleh pinjaman antar bank sehingga akhirnya meminta bantuan dari BI dalam bentuk saldo debet yang kemudian dikonversikan ke BLBI.

Maka, untuk kepentingan masyarakat juga, sesungguhnya kebijakan penyaluran BLBI ditempuh. Opsi untuk menyelamatkan bank kemudian menyelesaikan ongkos penyelamatan itu melalui pembebanan dalam keuangan negara dalam jangka panjang jauh lebih baik daripada membiarkan dana masyarakat sekitar Rp 395 triliun terkatung-katung penyelesaiannnya karena penutupan bank.

C. Penutup: Agenda Penyelesaian BLBI

Sebagai bentuk akuntabilitas publik sudah tentu BI juga berkeinginan agar perdebatan BLBI dapat diselesaikan secara fair dan proporsional dengan menjunjung tingggi hukum yang berlaku. Meskipun dari sisi policy BLBI adalah kebijakan Pemerintah dan BI merupakan bagian dari Pemerintah, BI akan bersikap terbuka dan kooperatif terhadap upaya menegakkan transparansi termasuk rangkaian penyidikan oleh pihak Kejaksaan Agung. Jauh hari, BI telah mengadakan kompilasi atas kasus-kasus temuan dari hasil audit BPK dan meneiliti temuan tersebut dan keterkaitannya dengan pegawai yang merupakan konsekuensi atas posisi dan jabatannya saat itu. BI juga telah menyiapkan dokumen-dokumen untuk kelancaran proses penyidikan.

Tentu saja, penyidikan itu hendaknya dilakukan sesuai prosedur hukum termasuk memisahkan secara tegas antara indikasi penyimpangan yang dilakukan secara individual pegawai BI, pihak bank penerima BLBI dengan kebijakan umum penyaluran BLBI yang telah memiliki landasan hukum dan politik waktu itu. Termasuk juga memperhatikan komitmen dan kesepakatan yang telah ditempuh di Komisi IX DPR-RI melalui Panja BLBI maupun di tingkat Pimpinan DPR-RI. Dalam pengertian ini, hendaknya disadari bahwa semua yang dilakukan oleh pegawai BI waktu itu didasari oleh ketentuan hukum yang kuat dan jelas, dibarengi rambu-rambu pengaman kebijakan serta dilandasi oleh keinginan untuk menyelamatkan perekonomian nasional dari keterpurukan yang lebih parah.

Disamping itu, apabila kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh Menteri Kueangan dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 6 Februari 1999 masih diakui, maka kerugian final Pemerintah masih menunggu verifikasi yang disepakati bersama. Hal ini didasarkan pada pertimbangan antara lain karena terdapatnya kemungkinan perbedaan pandangan pada aspek-aspek tertentu.

Oleh karena itu, sikap BI untuk menegakkan keadilan di mata hukum di setiap pegawai hendaknya dilihat sebagai bagian dari upaya untuk menegakkan kebenaran dan hukum secara keseluruhan. Menjadi kewajaran, dalam konteks ini, apabila secara khusus BI memberikan perlindungan hukum secara maskimal untuk setiap rangkaian kesaksian pegawai BI. Di jajaran internal BI, telah terbentuk cara pandang untuk menyikapi penyidikan secara obyektif. Walaupun pahit, tahapan penyidikan BLBI akan dilalui dengan kepala tegak, dan seluruh jajaran di Bank Indonsia mendukung penyelesaian BLBI sampai tuntas, tetapi tetap proporsional dan adil di mata hukum.

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.