Krisis perekonomian Indonesia merupakan dampak dari krisis yang melanda Asia pada tahun 1997-an dan tidak ada satu negarapun yang menginginkan krisis itu terjadi. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai pilihan kebijakan (policy response) yang diambil Pemerintah waktu itu. Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling banyak disorot – bahkan dilakukan penyelidikan oleh Panitia Kerja (Panja BLBI) Komisi IX DPR RI dan ditindaklanjuti dengan audit investigasi oleh BPK RI - karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara pasca krisis. Oleh karena itu, untuk mendudukkan pokok persoalan BLBI secara proporsional, faktual dan jernih, diperlukan tinjauan yang objektif dan komprehensif dalam konteks manajemen krisis waktu itu maupun penyelesaiannya di masa datang.
A. Kebijakan Penyaluran BLBI dan Kondisi Ekonomi yang Melatarbelakangi
Semua pihak mengakui bahwa dimensi krisis nilai tukar pada Agustus 1997 sangatlah besar dan implikasinya sangat luas. Pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah – untuk mengatasi depresiasi Rupiah - memberikan dampak buruk bagi perbankan dan sektor riil. Terlebih lagi, penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank, ternyata mengakibatkan keadaan yang sebaliknya.
Kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional runtuh. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha berikutnya dan tidak adanya program penjaminan simpanan telah menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Hal ini mendorong masyarakat melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang kurang sehat ke bank lain yang dianggap lebih sehat (Grafik 1.3). Sebagai gambaran , uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak tajam dari Rp24,9 triliun pada akhir Oktober 1997 menjadi Rp37,5 triliun pada akhir Januari 1998, dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 yang mencapai Rp.45,4 triliun.
Sementara itu, berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok - yang sangat mengkhawatirkan karena menyangkut pula kelangkaan kebutuhan medis/obat-obatan seperti infus - menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi semakin tinggi. Hal ini mendorong pembelian barang-barang secara berlebihan dan peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valas. Akibatnya bukan saja inflasi melonjak mencapai 6,88% pada bulan Januari 1998 (sekitar 89,8% year to year pada bulan Maret 1998) dan nilai tukar merosot tajam hingga Rp 16.000 pada tanggal 22 Januari 1998, melainkan juga meyebabkan penarikan simpanan di bank semakin menjad-jadi.
Kepanikan masyarakat tersebut menyebabkan tekanan yang berat terhadap posisi likuiditas perbankan. Beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga terkena imbas sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank. Akibatnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sebagian besar bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di BI. Untuk mengatasi kesulitan itu, dana pinjaman antar bank menawarkan bunga yang sangat tinggi antara 40%-100% pa. Bahkan di level ini pun tidak jarang sangat sulit untuk memperoleh dana yang cukup.
Guna segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan, pada akhir Januari 1998 Pemerintah mengambil kebijakan memberikan jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri (blanket guaranty) dan pembentukan BPPN untuk melakukan langkah penyehatan bank-bank yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah tersebut belum memadai. Krisis perbankan belum mereda, bahkan telah meluas dan mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional. Fenomena kesulitan likuiditas yang menyebabkan pelanggaran GWM dan bahkan saldo negatif pada rekening giro di BI itu semakin meluas di kalangan perbankan.
Dalam keadaan kesulitan likuiditas bank-bank yang bersifat sistemik ini Pemerintah dihadapkan pada 2 (dua) pilihan kebijakan, yaitu membiarkan bank-bank dikenakan sanksi stop kliring sehingga berguguran secara massal dan dalam tempo singkat; atau melakukan tindakan penyelamatan. Kebijakan yang dipilih – sesuai kesepakatan Pemerintah dan IMF – adalah melakukan penyelamatan karena dalam suasana krisis multi dimensi seperti itu kebijakan untuk menutup bank bukanlah opsi yang realistis.
Statistik menunjukkan bahwa pangsa bank-bank yang seharusnya dikenakan sanksi stop kliring mencapai 55,2% dari total seluruh industri perbankan. Eksposure kewajiban yang harus dibayar sangat besar mencapai sekitar Rp 293,1 triliun atau Rp 395 triliun (dengan memasukkan BEII, BCA dan BPD) dengan jumlah rekening 12,6 juta dan kantor sejumlah 2220. Efek domino yang dapat terjadi adalah apabila bank-bank itu di-stop kliring, tagihan antar bank sekitar Rp 29,4 triliun tak akan terbayar yang pada gilirannya akan menimbulkan dampak negatif bagi bank-bank pemilik tagihan. Di sektor riil, stop kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas perdagangan akan terhenti. Sementara itu, biaya yang harus dibayar apabila opsi penutupan bank diperkirakan mencapai Rp 395,0 trilyun dan belum memperhitungkan ongkos gejolak sosial yang timbul sebagai akibat kepanikan masyarakat. Penting untuk dicatat bahwa situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu adalah illiquid, bukan insolvent sehingga mencerminkan bahwa dalam kondisi rush, bank yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas tanpa bantuan Pemerintah.
Statistik berikut menunjukkan mengapa sistem perbankan perlu dipertahankan melalui BLBI
Besarnya dana pihak ketiga yang harus dibayar dalam sistem perbankan :
Posisi BLBI pada Desember 1998 mencapai Rp 147,7 triliun. Pada saat dilakukan kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 6 Februari 1999, posisi BLBI direvisi menjadi Rp 144,54 triliun.
Apabila tidak diberikan bantuan kepada perbankan, maka akan terjadi rush sebesar Rp.454,4 triliun (Desember 1997) atau Rp.680,2 triliun (Desember 1998), jauh lebih besar dari jumlah BLBI yaitu Rp.48,8 triliun (Desember 1997) atau Rp. 147,7 triliun (Desember 1998).
Sementara itu, utang luar negeri perbankan yang berbentuk valas juga menimbulkan tekanan tersendiri. Kepercayaan bank-bank di luar negeri kepada bank-bank di dalam negeri (dalam rangka perdagangan) berkurang karena dengan depresiasi Rupiah menyebabkan timbulnya tunggakan pembayaran hutang luar negeri dan dalam rangka perdagangan luar negeri sebesar Rp.77,6 triliun (Desember 1997) atau Rp.95,7 triliun (Desember 1998). Akibatnya credit line kepada bank-bank di dalam negeri dihentikan dan tidak lagi menerima L/C yang dikeluarkan oleh bank-bank di Indonesia. Impor terancam terutama untuk barang-barang yang sangat penting seperti obat-obatan dan beras serta untuk bahan baku ekspor. Sebagai jalan keluar, Pemerintah melalui Frankfurt Agreement melakukan kesepakatan dengan kreditur luar negeri agar mereka bersedia membuka kembali credit line tersebut serta kesediaan merestrukturisasi utang luar negeri bank. Untuk itu, kreditur mensyaratkan agar Pemerintah dapat menyelesaikan tunggakan trade finance dan utang luar negeri perbankan. Komitmen atau kesepakatn itu dilakukan Pemerintah, namun mengingat keterbasan dana yang dimiliki Pemerintah, maka BI diminta melakukan pembayaran sehingga menimbulkan dana talangan BI dalam rangka kewajiban pembayaran tunggakan trade finance dan utang luar negeri bank.
Sesungguhnya Indonesia tidak berdiri sendiri disini. Dalam penyelenggaraan perekonomian di negara manapun, diyakini bank memiliki peranan strategis sebagai penggerak roda perekonomian – baik dari segi pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, pengerahan dana maupun penyaluran kredit - sehingga tindakan penyelamatan perekonomian di negara yang mengalami krisis seperti Korea, Thailand, Brazil, Meksiko, pilihan untuk tidak menutup bank merupakan kebijakan yang seharusnya diambil, berapapun cost yang ditimbulkan.
Dalam konteks ini sangat sulit dibayangkan perekonomian negara dijalankan tanpa adanya bank. Bahkan, tahap pemulihan yang telah dicapai Indonesia akhir-akhir ini tampaknya mustahil dapat diperoleh jika di masa krisis yang lalu, keruntuhan sistem perbankan dibiarkan, tanpa tindakan penyelamatan.
Dalam konteks keadaan ekonomi seperti itulah, kebijakan penyaluran BLBI berlangsung. Dari sisi yuridis, penyaluran BLBI itu sesungguhnya bukan merupakan kebijakan yang "baru" dan secara mendadak diciptakan. Kebijakan itu telah dilakukan jauh sebelum terjadinya krisis moneter dan memiliki landasan hukum BI yang lama yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan "Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat" sedangkan pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun 1992 menegaskan "Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.".
Istilah BLBI itu sendiri dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah dalam Letter of Intent kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang ditandatangani oleh Menko Ekkuin itu, Pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) BI kepada perbankan sehingga secara jelas dapat disimpulkan BLBI merupakan program Pemerintah yang di-acknowledge oleh IMF bahkan menjadi conditionality yang ditetapkan oleh IMF. Meskipun dalam pengertian luas liquidity support itu meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat dan fasilitas diskonto I dan II, BLBI yang diberikan dalam masa krisis itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan likuiditas terutama yang berupa saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.
Dalam pelaksanaannya, penyaluran BLBI yang mencapai Rp 144,54 triliun itu dapat dikategorikan dalam beberapa kebijakan. Pertama, BLBI yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan likuditas bank yaitu saldo debet, SBPUK dan fasilitas diskonto (Rp 129,40 triliun). Kedua, dalam rangka pembayaran seluruh sisa dana masyarakat pada 16 Bank Dalam Likudidasi dan Bank Beku Operasi (Rp 6,015 trilyun). Ketiga, BLBI berupa dana talangan untuk pembayaran tunggakan trade finance kepada kreditur luar negeri (Rp 9,13 triliun). Untuk kategori pertama, dilakukan berdasarkan kebijakan Pemerintah tidak memberlakukan stop kliring, sedangkan kategori kedua dan ketiga, berdasarkan kebijakan penjaminan Pemerintah baik dalam blanket guaranty (Keppres No. 26 tahun 1998) maupun penjaminan luar negeri (Keppres No. 120 tahun 1998). Dengan demikian, penyaluran BLBI itu sesungguhnya berada dalam koridor ketentuan Pemerintah.
Pilihan kebijakan untuk tidak menutup bank melalui pemberian BLBI, sebagaimana disimpulkan oleh Pimpinan DPRI dalam rapat konsultasi dengan Gubernur BI tanggal 22 Juni 2000, adalah berdasarkan kepada kebijakan Pemerintah yang telah ditetapkan dalam sidang kabinet terbatas Bidang Ekku Wasbang dan Prodis tanggal 3 September 1997 di Bina Graha dan salah satu keputusan Presiden menugaskan Gubernur BI dan Menteri Keuangan yaitu untuk mengambil langkah-langkah untuk membantu bank-bank nasional yang sehat, tetapi mengalami kesulitan likuiditas, sementara bank yang nyata-nyata tidak sehat supaya diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil, supaya dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan, terutama deposan kecil.
Fakta tersebut melengkapi rangkaian peristiwa sebelumnya ketika pada bulan Oktober 1996 dan April 1997, Direksi BI menghadap presiden untuk mengusulkan perlunya likuidasi beberapa bank bermasalah yang dinilai indolvent. Usulan tersebut belum disetujui dengan alasan stabilitas keamanan menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR tahun 1998. Memperhatikan sikap pemerintah tersebut dan munculnya krisis perbankan, pada tanggal 15 Agustus 1997 Direksi BI memutuskan untuk memberikan dispensasi bank-bank bersaldo debet tetap ikut kliring.
Rangkaian fakta itu penting guna menunjukkan bahwa BLBI adalah policy Pemerintah. Pada waktu itu, sesuai Undang Undang no. 13 tahun 1968, kedudukan BI adalah sebagai bagian dari Pemerintah. Dengan pertimbangan yang nyaris sama, yaitu untuk mengembalikan kepercayaan, mempercepat pemulihan ekonomi, dan sebagai upaya mengembalikan fungsi intermediasi perbankan, Pemerintah pada saat ini pun melakukan hal yang hampir sama, misalnya dalam merekapitalisasi perbankan. Dalam pelaksanaan operasional kedua hal tersebut di lapangan, sudah tentu BI dipagari oleh rambu-rambu ketentuan baik berupa Keppres, SKB dengan Menkeu atau Ketua BPPN maupun SK Direksi BI.
Kondisi dan kebijakan Pemerintah tersebut sesungguhnya terjadi pula dewasa ini antara lain Pemerintah merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi persyaratan yang rata-rata CAR-nya di bawah -25%. Pertimbangannya juga relatif sama yaitu memelihara "kepercayaan" kepada Pemerintah disamping pertimbangan banyaknya nasabah dan pegawai di sektor perbankan.
B. Penyaluran BLBI : Pandangan DPR, Opini Auditor dan Persepsi Masyarakat
Adakah Pemerintah termasuk BI memiliki pengalaman dalam menangani manajemen krisis? Jawaban atas pertanyaan ini penting dalam menyikapi perdebatan mengenai ekses yang ditimbulkan dari penyaluran BLBI. Bahwa dalam pelaksanaan operasional penyaluran BLBI tersebut memerlukan beberapa klarifikasi – sebagaimana yang tertuang dalam hasil audit investigasi BPK-RI - tentunya tidak terlepas dari tekanan krisis waktu itu yang bergulir sangat cepat dan menuntut implementasi kebijakan secara cepat dan tepat pula.
Sebagai gambaran, manajemen pengambilan keputusan di BI waktu itu dilakukan secara harian dalam jadwal yang ketat. Disamping rapat Direksi juga dilakukan forum morning call dan evening call setiap hari. Tekanan krisis yang bertubi-tubi dan dinamis menyebabkan beberapa ketentuan yang mengatur penyaluran BLBI kadangkala tertinggal di belakang sehingga sering dilakukan perubahan-perubahan. Misalnya, berdasarkan ketentuan BI, bank yang kalah kliring sehingga bersaldo debet seharusnya di-stop kliring. Namun, karena terdapat payung kebijakan Pemerintah, Bank Indonesia menempuh kebijakan untuk tidak melakukan sanksi stop kliring demi menghindari risiko sistemik yang lebih luas. Dalam cara pandang lewat kacamata sekarang, hal itu sering menimbulkan keraguan dan pertanyaan.
Dalam situasi demikian, beberapa ekses seperti kelengkapan dokumentasi, kelemahan sistem pengawasan memang perlu dicermati dengan tetap memperhatikan konteks kejadian dan nuansa kebijakan yang melingkupi. Pemisahan persoalan secara tegas bahwa penyimpangan dalam penggunaan BLBI terjadi di tingkat bank penerima BLBI, perlu memperoleh penekanan secara wajar.
a. Pandangan Dewan Perwakilan Rakyat
Sebelum dilakukan audit investigasi, Panja BLBI Komisi IX DPR RI dalam laporannya tanggal 6 Maret 2000 telah memberikan pernyataan politik bahwa BLBI merupakan kebijakan Pemerintah dan menjadi tanggung jawab Pemerintah bahkan dari tanggung jawab finansial, Pemerintah bertanggung jawab dari kemungkinan terjadinya likuidasi, karena equity BI merupakan kekayaan negara. Dalam aspek hukum DPR merekomendasikan agar Jaksa Agung, Kapolri, Makhamah Agung, Menkumdang secepatnya merumuskan formulasi kebijaksanaan hukum secara jelas dan transparan mengenai arah kebijaksanaan penyelesaian BLBI termasuk pelanggaran BMPK. Pimpinan DPR juga menjanjikan untuk menjembatani perbedaan pendapat antara BI dengan Menteri Keuangan mengenai status BLBI dalam neraca BI.
b. Opini BPK - RI
Mengacu pada siaran pers BPK-RI tanggal 4 Agustus 2000 tentang hasil audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI sebenarnya terdapat pengakuan bahwa temuan-temuan yang berkaitan dengan penyimpangan penyaluran BLBI di BI, pada dasarnya merupakan implikasi kebijakan Pemerintah untuk tidak memberikan sanksi stop kliring pada bank yang bersaldo debet.
Temuan-temuan yang dikemukakan BPK-RI tersebut akan digunakan sebagai masukan dalam rangka rencana verifikasi yang disepakati oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 6 Februari 1999.
Namun demikian, dari sisi pendekatan audit, BPK tampaknya kurang melakukan pendekatan secara makro mengenai bottom line dari kebijakan penyaluran BLBI. BPK terpaku pada pengertian audit investigasi yaitu audit teknis secara mikro menurut standard akunting sehingga yang dipotret hanya pada objek yang ada datanya yaitu di BI dan bank penerima sedangkan payung kebijakan yang mendasari dan proses penyelesaian yang telah dan sedang dilakukan melalui BPPN kurang diperhatikan. Seharusnya, BPK tidak hanya melihatnya secara mikro – meskipun untuk keperluan verifikasi memang diperlukan – dan merumuskannya sebagai kesimpulan-kesimpulan adanya kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank, kelemahan manajemen penyaluran BLBI, potensi kerugian negara dan penyimpangan dalam penggunaan BLBI, tanpa menarik benang merah ke situasi krisis dan pilihan kebijakan yang melatarbelakangi dan hasil penyelesaian yang telah dan sedang dilakukan.
Untuk memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat, terhadap temuan BPK-RI itu perlu diberikan klarifikasi atau tanggapan sbb:
Kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank serta manajemen penyaluran BLBI
BPK menyimpulkan peyimpangan BI dalam menyalurkan BLBI selain karena faktor ekstern yaitu krisis moneter juga tidak terlepas dari kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank oleh BI pada waktu yang lalu. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi yang akhirnya tergantung pada bantuan likuiditas BI, dalam berbagai bentuk/skim. Disamping itu, kekeliruan BI dalam memberikan BLBI adalah pada saat BI tidak melakukan stop kliring kepada bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup sesuai ketentuan karena khawatir terjadinya efek domino (Untuk selanjutnya kalimat yang tercetak italic merupakan kutipan pernyataan BPK dalam siaran persnya).
Kesimpulan yang diambil BPK sebenarnya harus diletakkan kembali pada pilihan kebijakan Pemerintah yang sudah diketahui secara umum untuk tidak melakukan stop kliring dan penutupan bank. Dalam hal secara politis kebijakan itu memang yang menjadi pilihan Pemerintah, tentunya kurang tepat untuk mempertanyakan opsi itu semata-mata ke BI. Dalam beberapa kesempatan BI sebenarnya bermaksud menegakkan ketentuan secara konsisten antara lain menutup bank yang tidak sehat. Namun, Pemerintah sering kali menolak usulan ini dengan berbagai pertimbangan yang bersifat politis yaitu untuk mencegah gejolak sosial menjelang peristiwa politik tertentu (Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR) .
Pada tahun 1997 dan awal 1998, skim penjaminan Pemerintah belum terbentuk sehingga pengenaan sanksi stop kliring terhadap sejumlah bank bermasalah (bersaldo debet) secara serentak dalam kondisi krisis akan membawa dampak kepanikan masayarakat termasuk bank-bank yang memiliki tagihan kepada bank-bank yang dikenakan sanksi stop kliring tersebut. Sebagaimana disebutkan dimuka, eksposure kewajiban yang harus dibayar sangat besar mencapai sekitar Rp 293,1 triliun atau Rp 395 triliun (dengan memasukkan BEII, BCA dan BPD) dengan jumlah rekening 12,6 juta dan kantor sejumlah 2220. Pangsa bank-bank itu kurang lebih 55,2% dari total seluruh industri perbankan. Kondisi tersebut belum sebanding dengan kondisi rekapitalisasi yang dilakukan terhadap beberapa bank dewasa ini dimana Pemerintah telah mengeluarkan obligasi sebesar Rp 375,18 triliun (per posisi 7 Juli 2000)untuk menyelamatkan nasabah dan tujuan perekonomian lainnya.
Dengan eksposure tersebut dapat dipastikan bahwa sanksi stop kliring akan mengganggu kestabilan sistem pembayaran dan perbankan sebagai akibat efek domino. Dalam kondisi normal, efek domino itu memang sulit dibayangkan kejadiannya namun pengambil kebijakan di hampir seluruh dunia umumnya sangat berhati-hati dalam menilai risiko efek domino itu. Sebagai gambaran, pemerintah Amerika pun, dengan pertimbangan efek domino, pernah menyelamatkan bank ber-asset besar Continental Illinois Bank dan juga puluhan Saving and Loan Istitutions dari kebangkrutan yang biaya penyelamatannya juga dibebankan pada keuangan negara.
BPK juga mengemukakan karena penyaluran BLBI dilakukan melalui mekanisme kliring, BI tidak dapat mengetahui apakah benar dana BLBI dipergunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush dan bukan digunakan untuk kepentingan group pemilik bank. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar menukar warkat dalam rangka memperlancar sistem pembayaran berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Relevan untuk dikemukakan bahwa esensi dari dampak kesulitan likuiditas bank-bank memang selalu mengarah pada kegiatan kliring antar bank. Kegiatan kliring merupakan sarana penyelesaian utang piutang antara nasabah suatu bank dengan nasabah lain yang diselenggrakan oleh BI. Di dalam perhitungan kliring, suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana oleh nasabah ataupun kreditur lainnya dengan alasan kekurangan likuiditas. Hasil akhir perhitungan kliring, kalah ataupun menang akan bermuara pada rekening masing-masing bank di BI. Apabila suatu bank mengalami kekalahan kliring dalam jumlah jauh lebih besar dari dananya yang tersedia (saldo kredit) pada rekening gironya di BI, maka rekening itu secara otomatis dengan sepengetahuan bank akan bersaldo debet (overdraft). Pada prinsipnya rekening giro bank di BI tidak boleh bersaldo negatif dan apabila hal itu terjadi maka bank yang bersangkutan harus dapat menutup kekurangannya sebelum kliring berikutnya dimulai. Seandainya bank yang bersangkutan tidak menutup saldo giro negatif itu maka bank akan dihentikan (skorsing) untuk sementara sebagai peserta kliring. Saldo debet itulah yang kemudian dikonversi menjadi BLBI.
Untuk daerah Jabotabek saja, jumlah warkat kliring per hari mencapai 200 ribu warkat. Oleh karena itu, sangat mustahil untuk melakukan pengecekan satu persatu warkat kliring guna mengetahui apakah transaksi kliring itu digunakan untuk kepentingan group pemilik bank. Meskipun demikian, BI tetap melakukan pengawasan terhadap penggunaan BLBI itu melalui pemeriksaan post audit. Beberapa penyimpangan yang dilakukan bank dalam penggunaan fasilitas ini sebanyak 39 bank yang diindikasikan adanya unsur tindak pidana telah dilaporkan kepada aparat yang berwenang.
Pada bagian lain, BPK menyoroti kelemahan lain dari sistem perbankan berupa jumlah bank dan cabang bank yang diawasi tidak seimbang dengan jumlah pengawas bank sehingga frekuensi pemeriksaan langsung yang semestinya sekurang-kurangnya setahun sekali tidak dapat terlaksana.
Jumlah pemeriksa/pengawas bank dibandingkan dengan jumlah bank yang beroperasi memang kurang memadai, namun tidak berarti BI tidak melakukan pengawasan dan pembinaan bank. Sebelum krisis, BI telah menangani beberapa bank bermasalah sehingga menjadi sehat baik melalui merger, masuknya investor baru maupun tindakan pembinaan lainnya. Selama tahun 1997 BI bekerja sama dengan kantor akuntan publik memeriksa bank dengan TOR yang disusun BI. Meski demikian, pada saat krisis tenaga pemeriksa maupun pengawas bank lebih banyak dikonsentrasikan pada crash program monitoring likuiditas, penutupan dan pembekuan bank serta evaluasi kinerja bank-bank dalam rangka rekapitalisasi.
BI juga konsisten mengeluarkan ketentuan prudensial di bidang perbankan sebagai rambu-rambu operasional bank disamping pemeriksaan langsung yang bersifat post audit. Secara administratif Direksi Bank tetap bertanggungjawab apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan yang berlaku termasuk penyimpangan dalam penggunaan BLBI.
2. Penyaluran BLBI berpotensi menjadi kerugian negara
BPK menyatakan dari hasil audit investigasi atas penyaluran BLBI sebesar Rp 144.536.086 juta, diketemukan penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138.442.026 juta atau 95,78% dari total BLBI yang disalurkan posisi tanggal 29 Januari 1999.
Angka potensi kerugian Pemerintah sebesar Rp 138,4 triliun diakui sendiri oleh BPK masih belum final karena tergantung hasil proses recovery yang masih sedang berlangsung. Dari perhitungan BPPN yang dinyatakan kepada Panja DPR tingkat recovery penjualan asset (core and non core asset) dapat mencapai 50%. Dengan perhitungan cash in selama 4 tahun, dari cash out selama 20 tahun (dengan grace period 5 tahun) dan bunga 3%, Pemerintah tidak akan mengalami kerugian. Apabila ternyata tingkat recovery di bawah itu, sebenarnya kekurangannya tidak dapat dikatakan sebagai kerugian negara lebih tepat dikatakan sebagai biaya bagi stabilisasi sistem perbankan dan sistem pembayaran serta lebih terpuruknya ekonomi nasional.
Disamping itu, masih dipertanyakan apakah tepat menilai potensi kerugian negara di pihak BI sementara tagihan BLBI itu sudah dialihkan kepada Pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No.55 tahun 1998 tanggal 6 April 1998 tentang Pinjaman Dalam Negeri Dalam Bentuk Surat Utang yang dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan "pada tahap pertama akan diterbitkan surat utang senilai Rp.80 triliun". Artinya Pemerintah melalui BPPN sedang dan telah melakukan recovery dari tagihan, bahkan untuk BTO penagihan itu dilakukan dengan cara konversi melalui penyertaan modal Pemerintah. Demikian pula, BPPN telah menandatangani MSAA & MRNIA dengan pemegang saham BBO untuk pengembalian BLBI baik melalui penyerahan asset maupun pembayaran tunai kepada BPPN. Atas penandatanganan MSAA ini, Pemerintah menerbitkan release and discharge yang menyatakan tagihan BLBI menjadi lunas dan tidak akan melakukan penuntutan pidana atas pelanggaran yang dilakukan bank serta me-release semua jaminan yang dahulu diikat untuk BLBI (sehingga pertanyaan BPK tentang kecukupan jaminan dsbnya sebenarnya sudah tidak relevan lagi).
Dari kronologi itu, sebenarnya tagihan BLBI sudah dialihkan ke Pemerintah dan Pemerintah menyatakan sudah menerima pelunasan. Namun, Pemerintah belum mau mengakui seluruh BLBI dan tergantung pada audit BPK sedangkan BPK merekomendasi sebesar 95,78% tidak layak. Pertanyaan yang timbul, kalau BLBI belum diakui, apakah yang menjadi dasar Pemerintah menagih ke pemegang saham?
Dari 9 bank penandatanganan MSAA dan MRNIA terdapat jumlah BLBI sebesar Rp.109 triliun dan menurut informasi dari media massa para pemegang saham dari ke-9 bank tersebut telah telah menerima release and discharge dari BPPN. Dengan demikian dari BLBI sebesar Rp.144,5 triliun yang dialihkan kepada Pemerintah, dan sampai saat ini belum dinyatakan diterima seluruhnya oleh Pemerintah, sudah dilakukan "deal" oleh Pemerintah sebesar Rp.109 triliun dan bilamana sudah dikeluarkan release and discharge berarti Pemerintah telah menerima pelunasan sebesar Rp.109 triliun. Hal ini berarti tinggal sebesar Rp.35 triliun lagi BLBI yang masih dapat dianggap mempunyai potensi kerugian negara, itupun sebelum Pemerintah melalui BPPN melakukan penagihan kepada pemegang saham dari bank-bank penerima BLBI yang menurut rencana akan segera dilakukan.
Dari transaksi "tagih-menagih" ini jelas potensi adanya kerugian negara telah beralihnya dari Bank Indonesia kepada Pemerintah/BPPN yang melakukan penagihan. Mengingat hasil tagihan Pemerintah/BPPN sebagian tunai dan sebagian besar berupa asset maka potensi kerugian negara sangat tergantung pada hasil penjualan asset (termasuk saham Pemerintah pada bank yang direkapitalisasi) yang pada gilirannya juga sangat tergantung pada kondisi ekonomi, politik dan keamanan yang mendukung terciptanya iklim investasi yang baik. Dengan perkataan lain kalau kita semua menginginkan agar Pemerintah dan rakyat tidak menanggung kerugian akibat nilai asset yang dikuasai oleh BPPN menurun, maka menjadi kewajiban semua pihak untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk investasi itu.
Dengan demikian, potensi kerugian yang disebutkan oleh BPK sebenarnya sebagian besar sudah diambil alih oleh Pemerintah dan proses recovery melalui penjualan asset oleh BPPN saat ini terus berlangsung sehingga terlalu dini untuk menyimpulkan adanya kerugian negara apalagi sampai mencapai 95,78% dari total BLBI.
Penyimpangan dalam penggunaan BLBI
Dari total penerimaan BLBI pada 48 bank yang diinvestigasi sebesar Rp 144.536.086 juta, telah ditemukan berbagai pelanggaran dari ketentuan yang berlaku dalam penggunaan BLBI. Penyimpangan yang ditemukan tersebut diklasifikasikan ke dalam pelbagai jenis penyimpangan jika ditinjau dari tujuan penggunaannya.
Mengingat obyek investigasi adalah di pihak bank penerima, tentunya proses hukum yang akan menentukan kelanjutannya dan BI akan mendukung proses hukum itu.
c. Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat terhadap BLBI umumnya direpsentasikan oleh pendapat pengamat, praktisi ataupun lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap transparansi penyelenggaraan kebijakan publik. Pertanyaan seputar apakah dalam penyaluran itu terdapat free riders khususnya para pemilik bank yang memanfaatkan BLBI untuk tujuan lain? Sejauhmana kerjasama dengan aparat BI apabila praktek penyimpangan itu dilakukan? Pertanyaan ini cukup wajar meskipun dari beberapa sisi terdapat kesan adanya ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan vonis melalui surat kabar (trial by the press) dan penilaian sudah terbentuk terlebih dahulu berlandaskan opini negatif. BI menyadari bahwa hal ini merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial sehingga untuk ikut andil dalam fungsi itu, BI juga berkeinginan memberikan balanced information.
Pihak yang secara gencar melontarkan opini mengenai BLBI adalah Center for Banking Crisis. (CBC). Meskipun BPK telah menyerahkan hasil audit invistigasi kepada DPR, sebagaimana diketahui, audit itu belum dipublikasikan secara rinci kepada publik karena sedang ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Kejaksaan Agung. Namun demikian, CBS telah menyelenggarakan pertemuan pers dan membuat sejumlah rekomendasi mengenai sejumlah perjabat BI yang terlibat penyaluran BLBI, mengusulkan pencekalan bahkan meminta agar seluruh dewan gubernur diganti, minimal sejumlah nama yang direkomendasikan BPK termasuk Deputi Gubernur Senior karena sejak awal masuk bank sentral yang bersangkutan tidak mengambil langkah tegas.
Rekomendasi yang diberikan itu tanpa sedikitpun menyinggung mengenai pengertian BLBI dan latar belakang kondisi krisis perekonomian yang melatar belakangi. Disitu hanya diberikan judgment bahwa semua penyaluran BLBI berindikasi pidana dan semua pejabat BI terkait yang bertugas dari pertengahan 1996 hingga Agustus 1999 dicekal dan diperiksa sebagai tersangka oleh Jaksa Agung. Rekomendasi ini sangat misleading dan menyesatkan masyarakat. Seharusnya menjadi tugas semua pihak untuk memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Dengan judgment yang langsung negatif tanpa sedikitpun menyinggung apalagi mempertimbangkan krononologi dan politik ekonomi penyaluran BLBI, sesungguhnya menimbulkan pertanyaan, adakah agenda tertentu yang ingin dicapai atau dijadikan target dalam pembenrukan opini negatif tersebut?
BI sangat menyadari perasaan masyarakat mengenai besarnya ongkos yang ditanggung negara dalam penyaluran BLBI. Masa depan kondisi keuangan negara juga menjadi kepentingan BI karena eratnya keterkaitan kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawab BI. Namun, masyarakat seyogyanya menyadari risiko sistemik dan efek domino yang lebih dahsyat apabila tidak dilakukan tindakan penyelamatan bank. Apa yang dilakukan Pemerintah melalui BLBI untuk menghindari stop kliring misalnya, juga untuk melindungi masyarakat. Sulit dibayangkan apabila eskposure dana masyarakat sekitar Rp 395 triliun tidak terbayar karena sekitar 55,2% dari industri perbankan ditutup. Kalau hal itu terjadi, dapat dipastikan, perekonomian Indonesia bangkrut total. Bukan saja simpanan masyarakat kecil akan hilang, melainkan gaji jutaan buruh dan pegawai akan terhenti dan sektor riil kolaps karena semua dana dunia usaha tersimpan di bank.
Sangat beralasan bahwa sulit membayangkan dampak efek domino, dalam sudut pandang situasi relatif normal seperti sekarang. Namun, dampak penutupan 16 bank tanggal 1 November 1997 kiranya sangat merepresentasikan kepanikan masyarakat waktu itu. Dalam hubungan ini, Center for Financial Policy Studies – sebuah LSM yang dibentuk oleh para pengamat ekonomi – dalam buku ‘BLBI: Suatu pelajaran sangat mahal bagi otoritas moneter dan perbankan’ – mengakui kepercayaan yang sangat rendah kepada perbankan dan prospek ekonomi Indonesia, nilai rupiah yang terus melemah, serta rumor yang beredar mengenai bank kalah kliring, rugi valas dan bank yang akan dilikuidasi telah mengakibatkan penarikan dana nasabah secara besar-besaran. Keadaan tersebut terjadi pada saat pemerintah melancarkan kebijakan uang ketat untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan moneter. Akibatnya bank yang sudah berada dalam keadaan defisit tidak dapat memperoleh pinjaman antar bank sehingga akhirnya meminta bantuan dari BI dalam bentuk saldo debet yang kemudian dikonversikan ke BLBI.
Maka, untuk kepentingan masyarakat juga, sesungguhnya kebijakan penyaluran BLBI ditempuh. Opsi untuk menyelamatkan bank kemudian menyelesaikan ongkos penyelamatan itu melalui pembebanan dalam keuangan negara dalam jangka panjang jauh lebih baik daripada membiarkan dana masyarakat sekitar Rp 395 triliun terkatung-katung penyelesaiannnya karena penutupan bank.
C. Penutup: Agenda Penyelesaian BLBI
Sebagai bentuk akuntabilitas publik sudah tentu BI juga berkeinginan agar perdebatan BLBI dapat diselesaikan secara fair dan proporsional dengan menjunjung tingggi hukum yang berlaku. Meskipun dari sisi policy BLBI adalah kebijakan Pemerintah dan BI merupakan bagian dari Pemerintah, BI akan bersikap terbuka dan kooperatif terhadap upaya menegakkan transparansi termasuk rangkaian penyidikan oleh pihak Kejaksaan Agung. Jauh hari, BI telah mengadakan kompilasi atas kasus-kasus temuan dari hasil audit BPK dan meneiliti temuan tersebut dan keterkaitannya dengan pegawai yang merupakan konsekuensi atas posisi dan jabatannya saat itu. BI juga telah menyiapkan dokumen-dokumen untuk kelancaran proses penyidikan.
Tentu saja, penyidikan itu hendaknya dilakukan sesuai prosedur hukum termasuk memisahkan secara tegas antara indikasi penyimpangan yang dilakukan secara individual pegawai BI, pihak bank penerima BLBI dengan kebijakan umum penyaluran BLBI yang telah memiliki landasan hukum dan politik waktu itu. Termasuk juga memperhatikan komitmen dan kesepakatan yang telah ditempuh di Komisi IX DPR-RI melalui Panja BLBI maupun di tingkat Pimpinan DPR-RI. Dalam pengertian ini, hendaknya disadari bahwa semua yang dilakukan oleh pegawai BI waktu itu didasari oleh ketentuan hukum yang kuat dan jelas, dibarengi rambu-rambu pengaman kebijakan serta dilandasi oleh keinginan untuk menyelamatkan perekonomian nasional dari keterpurukan yang lebih parah.
Disamping itu, apabila kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh Menteri Kueangan dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 6 Februari 1999 masih diakui, maka kerugian final Pemerintah masih menunggu verifikasi yang disepakati bersama. Hal ini didasarkan pada pertimbangan antara lain karena terdapatnya kemungkinan perbedaan pandangan pada aspek-aspek tertentu.
Oleh karena itu, sikap BI untuk menegakkan keadilan di mata hukum di setiap pegawai hendaknya dilihat sebagai bagian dari upaya untuk menegakkan kebenaran dan hukum secara keseluruhan. Menjadi kewajaran, dalam konteks ini, apabila secara khusus BI memberikan perlindungan hukum secara maskimal untuk setiap rangkaian kesaksian pegawai BI. Di jajaran internal BI, telah terbentuk cara pandang untuk menyikapi penyidikan secara obyektif. Walaupun pahit, tahapan penyidikan BLBI akan dilalui dengan kepala tegak, dan seluruh jajaran di Bank Indonsia mendukung penyelesaian BLBI sampai tuntas, tetapi tetap proporsional dan adil di mata hukum.
KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENYELAMATKAN PEREKONOMIAN NASIONAL
Written by oman on Senin, 29 Desember 2008 at 09.32
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 Responses to "KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENYELAMATKAN PEREKONOMIAN NASIONAL"
Posting Komentar